Selamat Tinggal Sahabatku
Tersinar sebuah
cahaya yang masuk di dalam kamarku terkejut kubangun. Dengan malas aku
meninggalkan kamar. Seperti biasanya ada yang harus kukerjakan. Apalagi kalau
bukan ke sekolah. Suhu udara sangat dingin dengan rasa tegang aku menumpahkan
segayung air ke tubuhku. Setelah itu aku bergegas berangkat ke sekolah.
Sesampainya ke
sekolah aku berjalan menuju ke pintu kelasku dengan melirik kesana kemari
sungguh ini masih terlalu cepat aku pergi ke sekolah. Aku duduk sambil menunggu
teman-teman datang. Ani… Terdengar suara yang muncul. Ternyata itu Eka. “Hai,
Eka” ujarku. Kami berdua pun duduk bersama sambil mengobrol. “Eh, hari ini ada
tugas apaan sih?” kata Eka sambil menatapku dengan pandangan aneh. “Hmm…
kenapa?” jawabku. “Nggak aku Cuma heran kenapa wajahmu ada benjolan gitu?”
katanya. “Enggak ini Cuma benjolan biasa kemarin Saly, Uun, Ira datang ke
rumahku mereka bilang mengerjakan tugas bahasa Indonesia.” “Oh, ya” kata Eka
dengan muka cemberut. “Kamu kok cemberut gitu senyum dongg…” Eka pun tersenyum.
Seiiring waktu
berlalu benjolan ini kian membengkak di mukaku biarpun sedikit tapi… sakitnya
luar biasa, aku menjerit kesakitan di rumah hingga aku pun tak tahan dengan
semua ini. Hingga suatu hari Bunda melihatnya. “Ni…” “Iya Bund.” “Kamu kenapa,
nak” Tanya bunda dengan suara yang halus. “Nggak Bund. Aku nggak apa-apa kok”
jawabku sambil gemetar. “Jangan bohong, nak itu benjolan apa?” Tanya Bunda
kembali. “Aku juga nggak tau, Bund kemarin benjolan ini muncul dan terus
membengkak. Aku nggak tahan Bund.” “Ya udah kita pergi ke rumah sakit, yuk..”
kata bunda.
Sesampainya di
rumah sakit aku dan bunda masuk dan menemui dokter. Tuk… tuk… tuk. Terdengar
suara di dalam. “Masuk”. Aku dan bunda pun masuk ke dalam. Sesampainya di dalam
aku diperiksa oleh dokter. Setelah periksa aku bergegas pergi keluar. Aku takut
mendengar hasilnya dan menunggu di luar. Aku mendengar suara pintu. Bunda
keluar sambil menangis. “Bunda… bunda kenapa? Bagaimana hasilnya. Bund” tanyaku
dengan air mata yang menetes. “Kamu… kamu mengidap penyakit Kanker… An”
Aku bagai disambar
petir mendengar perkataan bunda. Tak dapat kubendung air mataku. Aku pun
menangis.
Keesokan harinya
aku berangkat ke sekolah dengan wajah lesu. “Hai, Ni” ujar Eka. Aku tak
menjawab. “Kamu, kenapa NI?” Tanya Eka. “Aku nggak apa-apa kok, Cuma nggak enak
badan”
Bel istirahat pun
berbunyi. Aku duduk sambil memandang keluar. Tiba-tiba Eka menepuk pundakku.
Aku pun terkejut. “Kamu kenapa sih Ka. Ngagetin aja.” Kataku sebal. “Nggak kok.
Dari tadi kulihat kamu seperti nggak bersemangat. Kamu kenapa?” “Apaan sih
kamu. Dari tadi nanya nanya. Aku nggak kenapa kenapa kok.” Kataku. Aku
sebenarnya mau ngomong ke Eka. Tapi, aku nggak mau buat dia susah dan sedih
karena penyakitku. Sebagai sahabat aku ingin dia selalu tersenyum. Dan aku nggak
mau lihat dia susah.
Tak terasa sudah
tiga bulan aku mengidap penyakit kanker. Seiring dengan itu pun benjolan ini
semakin membesar. Aku tak tahan. Hingga Ujian sekolah pun tinggal tiga hari
lagi. Bunda dan ayahku memutuskan untuk aku berobat di Singapura setelah
selesai Ujian Sekolah.
Seiring berjalannya
waktu Ujian Sekolah pun telah usai. Entah kenapa Orangtuaku menunda
keberangkatan kami ke Singapura hanya karena alasan sibuk dengan pekerjaan.
“Ni… maafin Bunda ya. Bunda dan Ayah menunda keberangkatan ke Singapura.
InyaAllah kita berangkat ke Singapura besok.”
“Iya, Bunda.”
Kataku. Ring… ring… ring. Ada panggilan masuk. Kulirik hpku ternyata dari Eka.
“Halo, ada apa sih?” “Eh, Ni kata Ibu Guru jam 09.00 kita peknik di Pintu Kota.
Kamu ikut, ya?” kata Eka di ujung telepon. “Gimana nih, kayaknya aku nggak
ikut.” Kataku. “Kamu gimana sih Ni. Ikut dong.. mumpung kita udah mau berpisah,
ni. Ikut, ya?” “Iya, tapi aku Tanya Bundaku dulu.” “Sip… aku tunggu di Taman
Kota, ya. Nanti kita ke rumah Ibu guru bareng. Soalnya kita semua berkumpul
dulu di rumah ibu guru.” “Ok. Bye” kataku “Bye.” Aku mematikan hp-ku dan
bergegas menemui Bunda di dapur. “Bunda… Bunda” “Kenapa sih kamu teriak-teriak,
Ni” “Bunda, tadi Eka nelpon katanya Ibu Guru dan semua teman-temanku mau piknik
ke Pintu Kota. Aku ikut ya Bund?” kataku pada Bunda. “Iya, jaga diri kamu
baik-baik, ya” “Tentu Bunda”
Aku pun bergegas ke
Taman Kota tempat Eka menungguku. “Hai Ni, kok lama banget sih.” Katanya “Maaf
ya Ka, kita pergi yuk. Udah mau telat nih” “Yuk.” Aku dan Eka pun bergegas ke
rumah Ibu guru. Sesampainya disana teman-teman udah pada datang semua, mobil
yang akan kami tumpangi pun telah tiba. Aku, teman-temanku, dan bu guru segera
menaiki mobil. Sekitar 2 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan,
dimana lagi kalau bukan di Pintu kota. Setelah beristirahat sejenak dan makan
makan, teman-temanku segera berenang. Tapi aku tak ingin berenang. Aku duduk
menyendiri di bawah pohon sambil memandangi pemandangan di Pintu Kota.
Tiba-tiba Eka datang
mengangetkanku. “Hai Ni, kok kamu dari tadi ngelamun gitu sih? Pasti ada yang
kamu pikirkan nih?” katanya seolah memberondongku dengan peluru pertanyaannya.
“Eh… aku? aku nggak mikir-mikir apaan kok.” kataku berbohong. “Kamu jangan
bohong gitu. Aku tahu pasti ada yang kamu pikirkan.” katanya. Aku nggak tahu
mau jawab apa sekarang. Akhirnya dengan sangat… sangat… terpaksa akhirnya aku
memberitahukan soal penyakitku pada Eka dan soal keberangkatanku ke Singapura
besok. Tak berapa lama kemudian kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya
aku dan orangtuaku berangkat ke Singapura. Sekitar 7 jam perjalanan akhirnya
kami sampai di Singapura dan segera menuju rumah sepupu ayahku yang berada di
sekitar Bandara. Kami beristirahat hingga mentari pagi di Singapura menerpa
wajahku. Sekitar jam 09.00 waktu Singapura ayah dan Bundaku pun segera
membawaku ke rumah sakit untuk check up. Sampai di rumah sakit. Orangtuaku
segera membawaku ke ruangan dokter. Dokter pun segera memeriksaku. Seusai
diperiksa dokter pun segera memberitahukan hasilnya. Ternyata kanker yang
kuderita sudah stadium akhir dan harus segera di operasi. Aku shock mendengar
perkataan dokter. Tubuhku lemas dan akhirnya…
Saat kubuka mata
ternyata aku sudah di pembaringan rumah sakit. Entah kenapa aku tak tau apa
yang sudah terjadi pada diriku. Tok.. tok.. tok. ada yang mengetuk pintu
ruangan kamar rumah sakitku. Segera bundaku membuka pintu. Ternyata Eka datang.
“Ani…” Eka masuk dan memeluk diriku sambil menangis. Melihat sahabatku menangis
aku pun menangis juga. Tiba-tiba nafasku terasa sesak. Dengan sedikit tenagaku
akhirnya aku mengucapkan salam perpisahan pada Eka. “Selamat tinggal sahabatku.
Kata-kata inilah yang sanggup aku ucapkan padamu. Maafkan aku.” Seketika
kulihat orang-orang di sekitarku menangis. Disaat itulah aku memejamkan mata
untuk selama-lamanya.