Halaman

Minggu, 10 Agustus 2014

Plagiat = Kejahatan Akademik

Plagiat adalah mencuri gagasan, kata-kata, kalimat atau hasil penelitian orang lain dan menyajikannya seolah-olah sebagai karya sendiri.  Plagiat atau Penjiplakan hampir menjadi bagian yang tidak dapat di pisahkan dalam penulisan Skripsi1, Tesis, karya ilmiah dan artikel - artikel.  Menurut Prof. Dr. Ir. Sardy. S, menyebutkan Plagiat adalah tindak pengambilan, pencurian, dan “peminjaman” pendapat, ide, pemikiran, kata, kalimat, karangan orang  lain, dengan menjadikan sebagai milik sendiri. Dan berdasarkan data guru yang ketahuan melakukan plagiasi mencapai 1.082 guru, tentunya itu merupakan angka yang yang tidak sedikit. Modus para guru menggunakan dokumen palsu adalah agar dapat dikategorikan “guru professional ”2.
Maka semestinya, seorang tenaga pendidik misalnya, sudah seharusnya untuk menghindari diri dari penjiplakan, karena penjiplakan adalah salah satu kejahatan akademik yang serius dan juga melawan hukum3. Namun sangat disayangkan,  tindakan penjiplakan itu sendiri makin hari makin marak terjadi dan  pelakunya bukan hanya berasal dari kalangan pelajar atau mahasiswa akan tetapi pelaku plagiat tersebut telah merambah pada dunia dosen, pengajar, guru besar dan calon guru besar dengan berbagai modus4. Secara tidak sadar, upaya – upaya plagiat adalah sebagai bukti nyata ketidakmampuan seseorang penulis/pengarang dalam pembuatan;  Skripsi, Tesis, Artikel, karya ilmiah, opini dan fiksi, sehingga demi memenuhi tujuan akhir apakah dalam hal mengejar kepangkatan atau karya ilmiah lainnya, maka si “plagiarisme” akan mengunakan berbagai cara yang menurutnya benar untuk menyelesaikan karya ilmiahnya. Sehingga para ahli penjiplak tersebut tidak lagi menggunakan pemikiran - pemikiran meraka secara maksimal dalam membuat tulisannya. Ketidakmampuan, kurangnya minat baca dan kejar target untuk mendapatkan financial, maka  untuk menjawab tuntutan tersebut, penjiplakan adalah salah satu jalan keluar khususnya bagi si “plagiarisme” dan orang tersebut akan terus melakukan penjiplakan dalam karya tulis nya, maka secara nyata tulisan yang di publikasikan dan atau di buat dalam bentuk skripsi, tesis dan presentasi tidak dapat di pertanggung jawabkan isinya.
Plagiatisme atau penjiplakan hasil karya orang lain masih menjadi persoalan serius, dari beberapa diskusi – diskusi dengan para penulis – penulis dan salah satunya dengan wartawan senior Koran Kompas, mereka mengatakan untuk menentukan bahwa sebuah tulisan tersebut adalah benar – benar karya si Penulis atau tulisan tersebut masuk dalam katagori hasil penjiplakan, bukan hal mudah untuk kita beri penilaian. Tulisan atau artikel tersebut baru dapat kita lihat apakah betul pemikiran penulis sendiri atau hasil penjiplakan dapat di lihat dalam bahasa si penulis itu sendiri.
Pada sisi lain, “Plagiatisme di sector akademik saat ini sudah menjadi bagian dari budaya yang menjadi penyakit sosial atau patologi sosial,” sehingga pihak yang mengetahui bahwa tulisan tersebut asli atau plagiat hanya penulis yang bersangkutan atau saksi korban plagiatisme itu sendiri. Namun demi mengejar kepangkatan misalnya, maka baik plagiatisme atau saksi korban plagiatisme tidak akan mempersoalkan penjipkan tersebut, hal ini yang menyebabkan plagiatisme makin subur di kalangan khusus nya para guru – guru atau pihak – pihak lain untuk mengejar kepangkatannya. 
Sejak Indonesia merdeka, karya ilmiah seseorang khususnya di dunia pendidik adalah suatu hal yang wajib dan merupakan bukti keilmuan seseorang. Dunia pendidikan memperkenalkan dunia riset, yang berunsurkan analisa dan data. Dalam melakukan riset, tidak hanya mengamati dan mendata, tetapi terdapat pula usaha pengembangan data. Pengembangan inilah yang menjadi suatu inovasi dan memunculkan hal baru, baik berupa gagasan maupun teori.
Tetapi dalam penulisan karya ilmiah, tak jarang terjadi suatu tindakan dimana ide-ide yang dituang dalam karya ilmiah bukan merupakan hasil riset yang telah dilaksanakan. Pembuatan karya tulis ilmiah dalam dunia akademik merupakan suatu bukti kompetensi seorang pengajar. Sehingga mengutip karya tulis atau ide orang lain menjadi salah satu jalan pintas peletakan ide, konsep maupun analisa dalam karya tulis ilmiah. Disinilah sering terjadi suatu permasalahan manakala kutipan yang diambil dari suatu karya tertentu tidak memberikan penjelasan asal ide tersebut. Hal ini yang kemudian dikenal dengan sebutan tindakan plagiat5
Maka secara hukum dalam Pasal 3 ayat (1) UU nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta (UU HC), hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak. Maka hak cipta dapat dimiliki dan dialihkan sebagaimana hak milik. Pada dasarnya tulisan merupakan benda yang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik dan hal ini juga telah di atur dalam Kitab Hukum Perdata6. Yang dengan jelas bahwa penyerahan tulisan tersebut kepada orang lain atau ditulis ulang dalam bentuk lain harus mencantumkan nama pemilik tulisan, yang dengan kata lain harus mencantumkan nama penulis atau pengarang karya tulis tersebut. Fakta dilapangan banyak ditemukan khususnya dalam karya ilmiah, sangat jarang ditemukan penulis mencantumkan nama pemilik tulisan, sumber7
Sebagai rujukan dalam membuat karya ilmiah atau membantu membuat karya ilmiah, kita harus memperhatikan pasal 2 ayat (1) Undang Undang Hak Cipta, yang mana telah diterangkan tentang definisi hak cipta secara khusus yang isinya bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka sebagaimana yang telah di uraikan di atas, yang mana pada pasal 3 ayat (2) Undang – Undang Hak Cipta, dijelaskan mengenai macam-macam cara pengalihan hak cipta dan kemudian dijelaskan lebih terperinci dalam Pasal 12 UUHC menyangkut hak cipta mana saja yang di lindungi oleh hukum. 
Tindakan Pencegahan Plagiat
Upaya pencegahan plagiat pada karya tulis ilmiah, tesis atau skripsi sangat ditentukan oleh para penilai/penguji itu sendiri, namun salah satunya upaya tersebut adalah dengan melakukan pengetatan pemeriksaan hasil karya tulis yang diajukan oleh pihak berkepentingan itu sendiri. Sebagai contoh, “di Belanda, telah mengadobsi software khusus untuk mendeteksi plagiatisme, dan plagiatisme ditoleransi maksimal 10 persen, lebih dari itu otomatis karya akan tertolak”8
Bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, beberapa aturan hukum tentang   tindakan plagiat yang makin subur di kalangan masyarakat khususnya para Tenaga Pendidik (dunia akademisi). Menyikapi konsisi tersebut, pemerintah telah mengatur suatu mekanisme hukum untuk melindungi pemilik ciptaan yang dituang dalam undang-undang hak cipta dan undang-undang tentang hak kekayaan intelektual lainnya dan kemudian dalam Peraturan Menteri (Permen No 17 thn 2010), pada sisi lainnya dalam KUHPerdata tentang hak cipta juga telah di atur, namun penjelasannya tidak seterang dengan penjelasan dari tiga aturan hokum yang baru tersebut, dapat di lihat dalam pasal 570 dan pasal 572 KUHperdata.
Walaupun aturan hokum telah mengatur begitu rupa sanksi yang akan didapatkan bila seseorang melakukan upaya melawan hokum yaitu Plagiat, namun plagiat tetap marak terjadi sector pendidikan. Hal ini disebabkan penegakan terhadap hukum tersebut ibarat “api dengan panggang”, bila tindakan penciplakan tidak di control dan diberikan sanksi yang tegas bagi pelaku, maka dunia akademisi dan atau dunia pendidikan di tanah air mengalami kemunduran dan para pengajar secara tidak langsung mengajar anak didik nya dengan cara plagiat. maka salah satu pengawasan terhadap plagiat adalah control social.
Sampai saat ini di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak di kenal dengan istilah plagiat, sebagai upaya menekan kejahatan plagiat tersebut yang telah menjadi budaya masyarakat Pemerintah kemudian mengatur dalam bentuk Undang Undang yaitu UU Hak Cipta, UU Intelektual dan kemudian Peraturan Menteri (Permen), Permen sendiri muncul setelah munculnya sejumlah kasus Plagiat yang dilakukan oleh kalangan Pengajar di tanah air.  Secara singkat, dalam UU Hak Cipta di atur mengenai sanksi Pidana bagi pelaku Plagiat sebagaimana dalam  Pasal 72 ayat (1);   “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Sedangkan ketentuan dan pengertian dari hak cipta juga di jelaskan dalam
Pasal 2 ayat (1) : “Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tindakan atau kejahatan plagiat bukan baru khususnya di dunia akademisi. Namun perlu juga di garis bawahi, tidak semua pengajar atau akademisi melakukan kejahatan tersebut. Maka upaya lain sebagai pencegahan dalam plagiat adalah adanya rasa tanggung jawab moral, sumpah jabatan pada diri  tenaga pengajar atau akademisi sebagai agent of change dan bukan sebagai agent of plagiat. 
Ingin penulis sampaikan, plagiat yang kian marak terjadi dan deretan kasus plagiat yang melibatkan para akademisi yang terjebak ketika merampungkan tesis, disertasi, artikel dan lain – lainnya dikalangan agent of change adalah sebuah kejahatan yang kian mengakar, hal ini terjadi dikarenakan pelaku sudah tidak ada moral dan tidak memiliki rasa malu mencuri dan kemudian mengklaim bahwa karya ilmiah tersebut milik atau hasil pemikirannya9
Pada tahapan lain, bila karya ilmiah adalah salah satu syarat kepangkatan sebagaimana di atur dalam proses menunjang kepangkatan, maka proses seleksi terhadap karya ilmiah tersebut haruslah di perketat dan salah satu pencegahan yang paling tepat adalah mengunakan software anti plagiat sebagaimana yang digunakan oleh para Akademisi di Negara maju. Walaupun sampai saat ini tidak ada sebuah data seberapa persen kejahatan Plagiat di kalangan akademisi, namun mari kita bersama – sama untuk melawan terhadap kejahatan plagiarism ini. Sebagai contoh; Amerika Serikat tindakan ini ditindak dengan tegas, dengan mengenakan hukum perdata, pidana kepada sang pelaku dan sanksi social. Sebagai contoh kasus; Pertama (1). Sebuah komite penyelidikan University of Colorado menemukan bahwa seorang profesor etnis bernama Ward Churchill bersalah melakukan sejumlah plagiarisme, penjiplakan, dan pemalsuan. Kanselir universitas tersebut mengusulkan Churchill dipecat dari Board of Regents10. Contoh kasus ke dua(2) Mantan presiden AS Jimmy Carter dituduh oleh seorang mantan diplomat Timur Tengah Dennis Ross telah menerbitkan peta-peta Ross dalam buku Carter Palestine: Peace, Not Apartheid tanpa izin atau memberi sumber11
Beberapa kasus plagiat yang melibatkan pengajar, akademisi di ataranya; Guru besar jurusan Hubungan Internasional salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung dengan melakukan 6 kali plagiarisme (Kompas, 10/02/2010). Kemudian kecurigaan plagiarisme yang dilakukan oleh dua calon guru besar salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta, kedua calon guru besar itu berasal dari bidang ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu sosial (kompas, 18/02/2010).  Dan yang terakhir adalah plagiat yang dilakukan oleh dua Guru besar FKIP di Universitas Lampung (Unila), Calon guru besar FKIP  berinisial BS dan Guru besar Fakultas MIPA berinisial MR, yang sanksi diberikan kehilangan sebagai guru besar dan sedangkan BS sanksi yang diberikan oleh Unila tidak boleh lagi mengajar, sedangkan MR masih diperbolehkan mengajar  sebagai dosen biasa (www.detiknews.com 17/04/2012). 
Maka seorang yang melakukan plagiasi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral dalam dunia akademik. Karenanya, Mendiknas, Muhammad Nuh, menganjurkan perlu adanya pendidikan moral, karakter, budaya diterapkan di dunia pendidikan. Komentar Muhammad Nuh selanjutnya adalah “adanya plagiasi disebabkan ada tiga faktor, yakni rendahnya integritas pribadi, ambisi mendapatkan tunjangan financial, serta kurang ketatnya sistem di dunia pendidikan12.

1.      Lihat Bab I Pasal I ayat 1, Permen-Nomor-17-Thn-2010-tentang-pencegahan-dan-penanggulangan-plagiat
2.      Ahmad Suhendra “ antara kejujuran dan ketenaran akademik” Kompas 08/02/2013
3.      UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan Permen No 17 thn 2010 tentang Pencegahan dan penanggulangan plagiat
4.      www.detik.com 17/04/2012 “Unila Pecat Calon Guru Besar karena Terbukti Plagiat”
5.      Lihat pasal 3 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 
6.      lihat pasal 612 KUHPerdata.
7.      Salim H.S. 2006. Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Cet.4. Jakarta : Sinar Grafika
8.      Sentot Prihandayani Sugiti Komarudin, GEMA edisi 46, Maret – April 2010
9.      Mochtar Buchari “Guru Profesional dan Plagiarisme” kompas, 22/02/2010
1.  Wikipedia.org ^ Ward's research shoddy by Casey Freeman, Colorado Daily(May 16, 2006).^ "Panel recommends firing Colo. professor". AP (June 13, 2006).^ CU to Ernesto Vigil, 17 April 2006,http://www.khow.com/pages/img/cs-churchill%20copy.gif^ Sara Burnett. "CU reviewing new charges leveled against Churchill". Rocky Mountain News (May 11, 2006). (Wikipedia “Plagiarisme”)
111.  Melissa Drosjack (December 8). "Jimmy Carter Fires Back at Longtime Aide Over Book". Fox News.
112.  Berita utama Kompas, 20/02/2010