Halaman

Rabu, 25 September 2013

GANGGUAN STRES PASCA~TRAUMA

Makalah Psikologi Abnormal

GANGGUAN STRES PASCA~TRAUMA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH KELOMPOK 3:

Muhammad Fajri : 421006007


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS DAKWAH / JURUSAN BPI
BANDA ACEH
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
peristiwa yang dapat menyebabkan trauma psikologis misalnya peristiwa yang sangat menakutkan, mengancam jiwa, kecelakaan, perang, bencana alam, KDRT, child abuse, pemerkosaan, didiagnosis menderita penyakit yang menakutkan, dan peristiwa lainnya yang sulit diterima secara psikologis oleh penderita. Walaupun demikian, peristiwa tersebut tidaklah harus terjadi pada diri penderita, mungkin saja terjadi pada kerabat atau orang lain, namun penderita menyaksikan atau dapat merasakan hal tersebut.
Penderita gangguan stres pascatrauma biasanya akan mudah teringat atau bermimpi akan peristiwa yang tidak mengenakkan tersebut.  Hal ini menyebabkan penderita cenderung untuk menghindari dan menjauhi lokasi, orang, ingatan, atau hal lain yang akan mengingatkannya akan pengalaman mengerikan tersebut. Keadaan lain  yang dapat menyertai misalnya gangguan tidur, sulit konsentrasi, gangguan emosi, gelisah, gangguan dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari dan sosial, bahkan bunuh diri.
Gangguan ini tidak terjadi pada semua orang yang mengalami trauma psikologis. Hampir semua orang pernah mengalami trauma psikologis selama hidupnya, namun hanya sekitar 8% yang mengalami gangguan stres pascatrauma ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor risiko, yaitu faktor genetik, keparahan trauma psikologis, broken home, depresi, dan usia anak-anak.

B.     Tujuan
Agar kita semua mengetahui apa itu gangguan stress pasca~trauma, bagaimana gejalanya, dan cara menangani atau terapi apa yang akan dilakukan kepada yang mengalami gangguan stress pasca~trauma.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian.
Secara sederhana, Pulih & ICMC, (Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan Ar-raniry press Darussalam banda aceh, 2007) mendefinisikan stress sebagai “ suatu keadaan di mana individu terganggu keseimbangannya. Stress terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu untuk berespon secara sesuai.
Trauma Menurut Chaplin, (Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan Ar-raniry press Darussalam banda aceh, 2007), trauma berarti “ suatu luka, baik yang bersifat fisik atau jasmani maupun psikis”. Luka itu terjadi akibat suatu peristiwa yang sangat mengguncangkan dan terjadi secara tiba-tiba.

Gangguan stres pascatrauma (Postraumatic stress disorder/PTSD) adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan cemas setelah terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan trauma psikologis.
PTSD adalah paparan terhadap kejadian traumatik dimana saat itu orang merasa ketakutan, ketakberdayaan, atau kengerian. Selain itu korban merasa mengalami kembali keadaan tersebut melalui kenangan dan mimpi buruk. Gangguan emosional yang menyebabkan distres, yang bersifat menetap, yang terjadi setelah menghadapi ancaman keadaan yang membuat individu merasa benar-benar tidak berdaya atau ketakutan. Korban merasa kembali trauma itu, menghindari stimulus yang terkait dengannya, dan mengembangkan sikap mematirasakan responsivitasnya dan memiliki tingkat kewaspadaan dan arousal yang meningkat.
PTSD tidak dapat diagnosiskan sampai paling tidak satu bulan setelah kejadian traumatic tersebut. Gangguan baru yang dinamakan acute stress disorder (gangguan stress akut) Gangguan ini benar-benar memiliki gejala PTSD yang terjadi pada bulan pertama setelah trauma, tetapi nama yang berbeda tersebut ditekankan adanya reaksi yang sangat berat yang dialami orang setalah trauma terjadi. Gejala-gejalanya seperti gejala-gejala PTSD tetapi disertai dengan gejala-gejala disosiatif berat seperti amnesia, mati rasa emosional, dan derealisasi atau perasaan tidak riil.

B.     Jeni-jenis PTSD.
a.       PTSD akut.
PTSD akut dapat didiagnosiskan dalam waktu satu sampai tiga bulan setelah kejadian. Dalam PTSD yang onsetnya tertunda, individu tidak menunjukkan, atau kalaupun ada hanya sedikit, gejala-gejala segera setelah kejadian traumatik itu terjadi. Tetapi kelak, beberapa tahun yang akan dating, mereka mengembangkan PTSD secara penuh. Belum jelas mengapa onsetnya tertunda pada sebagian individu.
b. PTSD kronis.
PTSD kronis merupakan lanjutan dari PTSD akut, individu yang mengalami PTSD lebih dari tiga bulan maka dianggap kronis. PTSD kronis biasanya berhubungan dengan tingkah laku menghindar yang lebih menonjol dan lebih sering disertai oleh diagnosis-diagnosis lain, seperti fobia sosial.
C.    Kriteria Gangguan Stres Pasca~Trauma.

1)      Terpapar kejadian traumatic, diamana orang mengalami,  menyaksikan, atau dihadapkan pada situasi yang melibatkan kematian, ancaman kematian, atau cedera yang serius, yang dalam responnya terhadap kejadian tersebut orang bereaksi dengan ketakutan yang instens, perasaan yang tidak berdaya, atau kengerian.
2)      Kejadian traumatic itu secara persisten dialami kembali dengan salah satu cara (atau lebih) berikut ini :
a)      Ingatan yang menimbulkan distress yang terjadi berulang-ulang dan persisten, temasuk ingatan tentang berbagai gambaran, pikiran, atau persepsi.
b)      Mimpi tentang kejadian traumatic yang menimbulkan distress dan terjadi berulang-ulang.
c)      Adanya perasaan bahwa kejadian traumatic itu berulang lagi, termasuk ilusi, halusinasi, dan kilas balik disositif.
d)     Reaksi fisiologis terhadap stimulus-stimulus yang mengingatkan pada kejadian tersebut.
3)      Perilaku menghindar yang persisten terhadap stimuli yang berhubungan dengan trauma, dan pematirasaan responsivitas  secara umum.
4)      Gejala arousal yang meningkat, bersifat persiten. Seperti sulit tidur, iritabilitas dan kewaspadaan yang terlalu berlebihan.
5)      Stress atau hendaya yang signifikan secara klinis dibidang social, pekerjaan, atau bidang-bidang fungsi lainnya.
6)      Lamanya gangguan berlangsung lebih dari satu bulan.

D.    Penyebab PTSD.
PTSD meupakan gangguan dimana seseorang mengalami trauma secara pribadi kemudian mengembangkan gangguan. Tetapi, apakah seseorang kemudian mengembangkan PTSD atau tidak ternyata merupakan isu yang bukan main kompleksnya, isu ini melibatkan factor-faktor biologis, psikologis dan social.
Seperti gangguan lainnya, kerentanan biologis dan psikologis menyeluruh tertentu. Semakin tinggi kerentanan itu, semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengembangkan PTSD. Bila cirri-ciri tersebut terdapat pada keluarga kita , maka kita memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan gangguan tersebut. Sejarah kecemasan keluarga menunjukkan adanya ketetanan biologis menyeluruh untuk PTSD.
Kepribadian, ciri-ciri seperti cenderung menjadi cemas dan yang lainnya merupakan bagian diantaranya bersifat keturunan, paling tidak secara persial, dapat mempedisposisikan seseorang untuk mengalami trauma dengan membuat orang itu berkemungkinan berada dalam situasi-situasidimana trauma cendeung terjadi.
Ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya PTSD, yaitu :
1.      Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :
a.       Pertempuran, perang sipil.
b.      Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan emosional.
c.       Penyiksaan.
d.      Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga.
e.       Terorisme, Peristiwa ledakan bom, menyaksikan pembunuhan, ancaman.
f.       Bunuh diri atau bentuk lain dari kematian mendadak.
g.      Kerusakan atau kehilangan bagian tubuh.
2.      Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a.       Kebakaran, Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam.
b.      Bencana nuklir, runtuhnya bangunan, dan kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh.
3.      Faktor bencana alam.
a.       Gempa bumi, tsunami, banjir.
b.      Tornado, angin topan, dan longsor.

E.     Etiologi PTSD.

1.      Etiologi Psikoanalisis.
Bisa disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata lain, ada konflik – konflik tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke syaraf kesadaran.
2.      Etiologi Kognitif.
Adanya cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, bisa meliputi beberapa hal seperti : prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self – defeating atau irasional, sensitiviras berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh,serta self – efficacy yang rendah.
3.      Etiologi berdasarkan pendekatan behavioral.
Etiologi terjadinya PTSD dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan behavioral dengan kerangka pikir conditioning. Dalam perspektif classical Conditioning, pengalaman traumatis berfungsi sebagai stimulus tak terkondisi yang dipasangkan dengan stimulus netral seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang diasosiasikan dengan gambaran trauma. Pemaparan terhadap stimuli yang sama atau hampir sama memunculkan kecemasan yang diasosiasikan dengan PTSD.
F.     Terapi PTSD.

1.      Terapi behavioral lewat proses khusus yang melibatkan pengandaian mental dari peristiwa yang memicu traumatik atau membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksi  mendalam dan disandingkan dengan terapi relaksasi. Tehnik yang digunakan adalah desentisisasi  sistematus yaitu tehnik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang negative dan menyertakan respon yang berlawanan dengan prilaku yang akan dihilangkan. Stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Dengan teknik ini, penderita akan menanggulangi rasa takutnya pada pemicu trauma.
2.      Terapi kognitif untuk menghadapi efek peristiwa penyebab trauma. Terapi dengan cara si penderita bercerita bisa membantu penderita mengurangi kenangan buruk masa silam.
3.      Terapi psikoanalisis dengan memaparkan kembali penderita terhadap peristiwa traumatik namun dengan lingkungan yang lebih mendukung. Dengan terapi ini, penderita akan memahami perasaan sadar dan tak sadar terhadap peristiwa yang mempengaruhinya tersebut dan belajar menerima kondisi.
4.      Terapi medis dengan pemberian obat penenang atau obat anti depresann dapat membantu untuk mengobati gangguan-gangguan kecemasan lainnya. Namun masalah potensial dengan terapi obat adalah bahwa pasien kemungkian menganggap perbaikan klinis yang terajadi disebabkan oleh obat dan bukan karena mereka sendiri. Obat tidak mampe memberikan efek kesembuhan secara total karena terapi obat hanya mengobati gejal bukan inti dari masalah trauma itu sendiri.

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Gangguan stres pascatrauma (Postraumatic stress disorder/PTSD) adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan cemas setelah terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan trauma psikologis.
Jeni-jenis PTSD : PTSD akut dan PTSD kronis.
Kriteria Gangguan Stres Pasca~Trauma.
·   Terpapar kejadian traumatic.
·   Kejadian traumatic itu secara persisten dialami kembali dengan salah satu cara (atau lebih).
·   Perilaku menghindar yang persisten terhadap stimuli yang berhubungan dengan trauma, dan pematirasaan responsivitas  secara umum.
Penyebab PTSD meupakan gangguan dimana seseorang mengalami trauma secara pribadi kemudian mengembangkan gangguan. Tetapi, apakah seseorang kemudian mengembangkan PTSD atau tidak ternyata merupakan isu yang bukan main kompleksnya, isu ini melibatkan factor-faktor biologis, psikologis dan social.
Ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya PTSD, yaitu :
1.      Faktor kesengajaan manusia.
2.      Faktor ketidaksengajaan manusia.
3.      Faktor bencana alam.
Etiologi PTSD.
1.      Etiologi Psikoanalisis.
2.      Etiologi Kognitif.
3.      Etiologi berdasarkan pendekatan behavioral.
Terapi PTSD.
1.      Terapi behavioral.
2.      Terapi kognitif.
3.      Terapi psikoanalisis.
4.      Terapi medis.


















DAFTR PUSTAKA

·         Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan, Ar-raniry Press; Darussalam Banda Aceh, 2007.
·         V.Mark Durand dan David H. Barlow, Intisari Psikologi Abnormal, Yogyakarta; PT. Pelajar,Cetakan 1, Desember 2006.
·         Gerald C. Davison, John M. Neale, Ann M. Kring, Psikologi Abnormal (Edisi ke-9) ; penerjemah, Mormalasari Fajar.-Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada, 2006.


PENYESUAIAN DIRI DALAM
KESEHATAN MENTAL

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

NAMA                                              NIM
Muhammad Fajri                            421006007
                             Nandari Ayu Setiana                       421006021
                             Siti Rahmah                                     421006014
                             Ulfa Latifha                                      4210060


                                    

    

   JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH

2012-2013
MACAM-MACAM DEVIASI
DAN LINGKUNGANNYA

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

NAMA                                              NIM
Muhammad Fajri                            421006007
                             
                                   


                                    

    

   JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH

2011-2012



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Di sekitar kita terdapat berbagai macam perilaku yang bermunculan dan dapat kita amati. Dari pengertian yang luas, perilaku atau aktivitas-aktivitas tersebut terdiri dari perilaku yang nampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak nampak (inert behavior). Selanjutnya dalam realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, perilaku-perilaku individu tersebut muncul sebagai perilaku yang bersifat kita kehendaki/sesuai(appropriate behavior) dan terdapat pula perilaku yang tidak kita kehendaki (un appropriate behavior)(Walgito, 2003:18). Kedua jenis perilaku tersbut ditentukan dengan tolak ukur norma dan nilai yang berkembang dalam masyarakat, ketika perilaku yang dikehendaki muncul akan menimbulkan efek positif, sebaliknya perilaku yang tidak dekehendaki akan menimbulkan dampak negative, bagi individu itu sendiri ataupun bagi masyarakat/orang lain.
            Terkait dengan hal diatas, terdapat beberapa hal yang akan dibahas mengenai perilaku, khususnya perilaku yang tidak dikehendaki terkait dengan penyimpangan-penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh individu atau dapat pula disebut dengan Deviasi Tingkah Laku.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Deviasi.
Dalam kehidupan masyarakat muncul dan berkembang suatu karakteristik, nilai dan norma yang diyakini dan dianut oleh masyarakat tersbut yang mengatur dan membatasi perilaku individu. Namun tidak jarang dalam kehidupan masyarakat tersbut terjadilah penyimpangan dan perbedaan dalam berperilaku.
Kartini Kartono (2007:11) mengartikan deviasi atau penyimpangan merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan/populasi. Dalam Kamus Besar Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial hakikatnya merupakanperilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial(dalam http://wikepedia.com ). Sejalan dengan pendapat diatas Hendropuspito (1989) mengartikan deviasi ialah Suatu tindakan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok diluar, melawan kaidah sosial yang berlaku di masyarakat.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa deviasi atau perilaku menyimpang adalah perilaku yang dilakukan individu yang bertentangan/menyimpang dari ciri karakteristik masyarakat kebanyakan dan norma/nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh deviasi/perilaku menyimpang adalah perkawinan dibawah umur, homoseksualitas, alkoholisme kronis, anak usia 7 tahun yang tidak bersekolah, dan lain sebagainya,
Menurut Robert M. Z. Lawang penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sitem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Menurut James W. Van Der Zanden perilaku menyimpang yaitu perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi.
Menurut Lemert penyimpangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu bentuk perilaku menyimpang yang bersifat sementara dan tidak dilakukan terus-menerus sehingga masih dapat ditolerir masyarakat seperti melanggar rambu lalu lintas, buang sampah sembarangan, dll. Sedangkan penyimpangan sekunder yakni perilaku menyimpang yang tidak mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, dan lain-lain.
Menurut S Howard Becker(1966) mendiskripsikan bahwa penyimpangan sosial bukan semata tindakan itu sendiri,melainkan reaksi masyarakat terhadap tindakan tersebut yang menjadikan suatu tindakan itu dapat di nilai suatu penyimpangan.
Deviasi individu: suatu penyimpangan yang melanggar norma dan adat,ini merugikan diri sendiri namun dampaknya dapat berpengaruh pada lingkungan sekitarnya.
B.       ASPEK-ASPEK TINGKAH LAKU YANG MENYIMPANG
Ciri-ciri tingkah laku yang menyimpang itu bisa dibedakan tegas, yaitu :
1.    Aspek lahiriah, bisa diamati dengan jelas.
Aspek ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
·         Deviasi lahiriah yang verbal dalam bentuk : kata-kata makian, slang (logat, bahasa populer), kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan dunia kriminal, ungkapan-ungkapan sandi, dan lain-lain.
Misalnya, penamaan “babi” untuk pegawai negeri atau pemerintahan “singa” untuk tentara “serigala”, untuk polisi “kelinci”, untuk orang-orang yang bisa dijadikan mangsa (dirampok atau dicopet, digarong), dan seterusnya.
·         Deviasi lahiriah yang nonverbal : semua tingkah laku yang nonverbal yang nyata kelihatan.
2.    Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi.
Mencakup sikap-sikap hidup, emosi-emosi, sentimen-sentimen, dan motivasi-motivasi yang mengembangkan tingkah laku menyimpang. Berupa mens rea (pikiran yang paling dalam dan tersembunyi), atau berupa iktikad kriminal di balik semua aksi-aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang.
Hendaknya selalu diingat, bahwa sebagian besar dari tingkah laku penyimpangan (ex: kejahatan, pelacuran, kecanduan narkoba, dan lain-lain) itu tersamar dan tersembunyi sifatnya, tidak kentara atau bahkan tidak bisa diamati.

C.      MACAM-MACAM DEVIASI DAN LINGKUNGANNYA.
 Deviasi / penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal, misalnya hanya kriminal saja dan tidak alkoholik atau mencandu bahan-bahan narkotik. Namun juga bisa jamak sifatnya, misalnya seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal.
Deviasi dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Individu-individu dengan tingkah laku bermasalah yang merugikan bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.
2.      Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri, tetapi tidak untuk orang lain.
3.      Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi masalah bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Deviasi tingkah laku selalu berlangsung dalam satu konteks sosio-kultural dan antarpersonal. Sehubungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku dapat dibagi menjadi :

1.         Deviasi Individual.
Beberapa deviasi ditimbulkan oleh cirri-ciri yang unik dari individu yang berasal dari anomali-anomali, variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu yang sifatnya ada sejak lahir. Kelainan cirri juga disebabkan oleh penyakit dan kecelakaan.
Devisasi jenis ini sifatnya simptomatik yaitu disebabkan oleh konflik-konflik intra psikis yang kronis dan sangat dalam atau berasal dari konflik-konflik yang ditimbulkan oleh identifikasi-identifikassi yang kontroversal bertentangan satu sama lain. Individu yang termasuk deviasi individual misalnya : anak-anak luar biasa, fanatisi, idiot savant dan individu-individu psikotis.

2.         Deviasi Situasional.
Deviasi jenis ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial diluar individu atau oleh pengaruh situasi,dimana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari dirinya.
Situasi dan kondisi sosial atau sosiokultural yang selalu berulang-ulang dan terus-menerus akan mengkondisionisasi dan memperkuat deviasi-deviasi sehingga kumulatif sifatnya. Deviasi sosial yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik cultural yaitu produk dari periode-periode dengan banyak konflik cultural. Konflik budaya atau cultural ini dapat diartikan sebagai:
a.              Konflik antara individu dengan masyarakat.
b.              Konflik antara nilai-nilai dan praktik-praktik dari atau lebih kelompok-kelompok sosial.
c.              Konflik-konflik introjeksi yang berlangsung dalam diri seorang yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentangan.
Apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat, maka dapat menyebabkan deviasi situasional kumulatif. Berikut beberapa contoh deviasi situasional :
a.              Kebudayaan korupsi.
b.              Pemberontakan anak remaja.
c.              Adolescent revolt.
d.             Deviasi-deviasi seksual disebabkan oleh penundaan saat perkawinan jauh sesudah kematangan biologis serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan banyak disimulasi oleh rangsangan-rangsangan dari film “biru”, buku-buku porno dan tingkah laku yang asusila.
e.              Peristiwa homoseksual yang banyak terjadi dikalangan narapidana di penjara-penjara.

3.         Deviasi Sistematik.
Deviasi sistematik pada hakikatnya adalah satu subkultur atau satu sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian dirasionalisasi atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu. Sehingga penyimpangan tingkah laku deviasi-deviasi itu berubah menjadi deviasi yang terorganisasi atau deviasi sitematik. Pada umumnya, kelompok-kelompok deviasi itu mempunyai peraturan-peraturan yang sangat ketat, sangsi, dan hukum-hukum yang sangat berat yang diperlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya.
Kelompok-kelompok deviasi itu pada umumnya memiliki pola organisasi yang unik, kode-kode etik, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh untuk menegakkan gengsi dan status sosialnya. Biasanya organisasi-organisasi demikian merupakan pecahan organisasi induknya, yang kemudian menyimpang dari pola aslinya, karena alasan-alasan menolak kebekuan dalam organisasi induknya.
Proses perpecahan atau pembelahan semacam ini tidak hanya berlangsung pada organisasi-organisasi saja, akan tetapi juga berlangsung disegenap lapisan masyarakat. Penyebab deviasi sistematik, yaitu :
a.              Kesulitan untuk berkomunikasi.
b.              Tidak adanya urgensi serta kurangnya motivasi untuk mengorganisasi diri.
   
Selain macam deviasi diatas, terdapat macam deviasi yang lain berdasarkan sifatnya, yaitu :
a)      Deviasi Postif, adalah penyimpangan yang mempunyai dampak positif ter-hadap sistem sosial karena mengandung unsur-unsur inovatifkreatif, dan memperkaya wawasan seseorang. Penyimpangan seperti ini biasanya diterima masyarakat karena sesuai perkembangan zaman. Misalnya emansipasi wanita dalam kehidupan masyarakat yang memunculkan wanita karier.
b)      Deviasi Negatif, adalah penyimpangan yang bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dianggap rendah dan selalu mengakibatkan hal yang buruk.

Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif antara lain sebagai berikut:
·         Penyimpangan primer (primary deviation). Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang yang hanya bersifat temporer dan tidak berulang-ulang.
·         Penyimpangan sekunder (secondary deviation). Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang yang nyata dan seringkali terjadi, sehingga berakibat cukup parah serta menganggu orang lain. Misalnya orang yang terbiasa minum-minuman keras dan selalu pulang dalam keadaan mabuk,

















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN.

Kartini Kartono (2007:11) mengartikan deviasi atau penyimpangan merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan/populasi. Dalam Kamus Besar Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.

Ciri-ciri tingkah laku yang menyimpang itu bisa dibedakan tegas, yaitu :
1.    Aspek lahiriah, bisa diamati dengan jelas.
2.    Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi.

macam-macam deviasi dan lingkungannya
1.         Deviasi Individual

2.         Deviasi Situasional

3.         Deviasi Sistematik
   
Selain macam deviasi diatas, terdapat macam deviasi yang lain berdasarkan sifatnya, yaitu :
c)      Deviasi Postif.
d)     Deviasi Negatif.

Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif antara lain sebagai berikut:
·         Penyimpangan primer (primary deviation). 
·         Penyimpangan sekunder (secondary deviation). 



DAFTAR PUSTAKA

1.      H. Prayitno, Erman Amti, 1999, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta.
2.      M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, 2001, Psikoterapi & Konseling Islam Penerapan Metode Sufistik, , Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
3.      Mappiare, Andi AT. 2002. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
4.      Sedanayasa, Gede & Suranata, Kadek. 2009. Buku Ajar Dasar-dasar Bimbingan Konseling. Singaraja : Bagian Penerbit Universitas Pendidikan Ganesha