Cerita
Tentang Para Said dan Syarifah Aceh
‘… maka mereka itu
keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai
pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari
ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan
hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan
syafa’atku’.
Kedatangan para pedagang dan
ulama Arab beberapa puluh tahun lalu ternyata meninggalkan kesan tersendiri
bagi masyarakat Aceh. Dari dulu hingga saat ini pun, tak jarang kita menemukan
masyarakat Aceh memiliki nama yang diembel-embeli dengan gelar "Said"
dan "Syarifah". Hmm, sebenarnya ada apa sih dibalik gelar tersebut?
Mengapa, perempuan Syarifah dituntut harus menikah dengan laki-laki yang
bergelar Said?? Kok bisa ya??
Para Said dan Syarifah,
memiliki keunikan tersendiri dari orang-orang Aceh pada umumnya. Dari segi
perawakan, wajah, ataupun garis muka, mereka berbeda dengan orang-orang Aceh
lainnya. Kendati mereka pun berdarah Aceh atau tinggal bersama orang Aceh. Yah,
tentu saja ini tak terlepas dari sejarah bangsa Arab yang pernah singgah di
Aceh dulu. Lihat saja, para Said dan Syarifah ini, memiliki wajah yang sangat
kearab-araban. Sebagian besar berkulit putih, dan bermata kecoklat-coklatan.
Tak heran, jika mereka cantik dan tampan :)
Kok
bisa sih ada Said dan Syarifah??
Begini penjelasannya...
Said dan Syarifah merupakan
keturunan yang memiliki nasab atau garis keturunan langsung kepada Rasulullah
SAW yang memiliki kemuliaan. Karena kemuliaan dari nasab tersebutlah, sangat
diutamakan mereka harus tetap mempertahankan garis nasab itu. Berdasarkan
penjelasan Rasulullah SAW, pada hari akhir kelak, seluruh nasab akan putus
kecuali nasabnya Rasul. Adapun makna yang terkandung dalam hadits di atas
tadi adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan
nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan
terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan
lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi
pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas dijelaskan bahwa Nabi
Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan
keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang
bukan sayid.
Seharusnya para keturunan
Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah,
karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki
keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang
mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan
keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam
perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak
dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan
sayyid. Nah, karena faktor inilah, para Syarifah dituntut untuk menikah
dengan Said (harus se kufu').
Menurut mazhab Syafii, Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh
dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui
oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut
sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan
selain Bani Hasyim, maka mereka ituberdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
‘Wanita keturunan mulia
(syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika
salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan
lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah)
hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho
menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.
Seorang ulama yang terkenal
yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan
dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut
sah ? Ibnu Taimiyah menjawab :
‘Kafaah dalam hal nasab
tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii
dan Ahmad–dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua
orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan
tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan
oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah’.
Dalam kitabnya Bughya
al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein
al-Masyhur, berkata :
‘Seorang syarifah yang
dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak
melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul
Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang
mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat
ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak
menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut‘.
Selanjutnya beliau berkata :
‘Meskipun para fuqaha
mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho,
akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli
fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti
selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal‘.
Dijelaskan oleh Sayyid Usman
bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) :
‘Dalam perkara kafa’ah,
tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’
apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh
menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para
fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul
bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati
oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang
larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan
diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan
Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni
nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini
berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan
sayyid‘.
Selanjutnya beliau berkata :
‘Daripada yang menjadi
godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada
sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi,
ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang
memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya
pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah
dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw‘.
Mufti Makkah al-Mukarromah,
sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih
al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:
‘Dalam kitab al-Tuhfah dan
al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang
sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan
Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab
kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”
KESIMPULAN PRINCESS :)
Buat para Said dan Syarifah
yang guanteng n cuantik, alangkah utamanya jika tetap mempertahankan nasab yang
ada. Keturunan dari orang paling mulia yaitu Rasulullah SAW harus tetap terjaga
dengan baik. Tidak merusaknya apalagi mengabaikannya. Said dan Syarifah
merupakan keturunan yang spesial. Jagalah kemuliaan nasab, baik dari segi
sikap, perkawinan terlebih lagi agama :)
Yang paling penting adalah
Nasab ini bukan berarti menjadi perbedaan dan salah satu bentuk kesenjangan
yang ada di Aceh, tapi inilah salah satu keunikan yang ada di Aceh ini yang
menjadi "bukti" bersejarah bahwa bangsa Arab pernah singgah di Aceh
beberapa puluh tahun lalu.:))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar