Halaman

Rabu, 23 Januari 2013


Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial
Pada Masyarakat Aceh


D
I
S
U
S
U
N

OLEH

NAMA                                              NIM
Muhammad Fajri                            421006007
                            
   JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011-2012


KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang dengan quddrah dan iradah-Nya penulis sudah selesai menyusun makalah dengan judul  Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial Pada Masyarakat Aceh “.
Selawat dan salam penulis sampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, juga sahabatnya yang telah susah payah dalam memperjuangkan Agama Allah di muka bumi ini. Sehingga pada saat ini kita masih merasakan hasil perjuangannya.
Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu Pengasuh Mata Kuliah “ Sosiologi yang telah membimbing penulis dalam upaya menyelesasikan makalah ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kawan-kawan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga makalah ini telah terselesaikan.
            Saya  menyadari bahwa makalah ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu laporan ini masih membutuhkan masukan agar makalah ini menjadi lebih baik dan sempurna. Berkaitan dengan hal tersebut saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing.



Banda Aceh, 28 Mei 2012



Penulis


i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar   ..................................................................................................... i
Daftar Isi  ................................................................................................................. ii

BAB I
Pendahuluan
A.        Latar Belakang............................................................................................... .  1

BAB II
Pembahasan
1.      Pengertian Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial                                        2
2.      Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial di Aceh                                             3
3.      Renungan Terhadap Realitas Sosial Masyarakat Aceh                                     5
4.      Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi                                      6
5.      Sejarah Aceh                                                                                                     11

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan....................................................................................................   12
Daftar Referensi......................................................................................................   14



ii


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.

Dewasa ini hukum sepertinya hanya berjalan ditempat, seperti kita lihat dan perhatikan banyaknya penyimpangan dan pelanggaran hukum walaupun sebenarnya hukum telah dikemas dalam undang-undang.

Banyaknya pelanggaran semakin hari semakin terasa sebagaimana berita- ditelevisi begitu nyaman dengan selalu menjadikan berita pelanggarn hukum sebagai berita utama dikoran.

Berita dikoran misalnya, adanya masyarakat mencuri sandal dan dihukum selama lima tahun penjara, tetapi para koruptor yang apabila mencuri 10 miliyar hanya di hukum satu tahun. Sunguh menggelikan kalau membaca berita di Indonesia ini hokum seperti pincang, pengendalian social seperti tidak terlaksana walaupun terlaksana laksana ada pemihakan kepada yang lebih terhormat.














BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial.

Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial dengan baik.

Prinsip yang bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial. Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai. Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi, status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara. 
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.

Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
a)      Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif).
Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
b)      Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif).
Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.
c)      Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif).
Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti main hakim sendiri.

2.      Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial di Aceh.
a.      Tatanan Sosial di Aceh.
Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Coba Anda identifikasi prasyarat apa saja yang ada pada lingkungan sosial Anda? Prasyarat-prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order).
Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang di atur oleh seperangkat norma dan nilai di istilahkan dengan tatanan sosial. Pada saat kita berbicara tentang tatanan sosial, ada beberapa konsep penting yang perlu di diskusikan yaitu tentang: struktur sosial, status sosial, peranan sosial, institusi sosial, serta masyarakat.
Apabila kita melihat tatanan sosial pada masyarakat Aceh, antara kehidupan Syari’ah dan Percikan Hedonisme maka pada saat itu Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang, termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembangan yang ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dasar pemikiran penegakan syariah di Aceh antara lain diinspirasi oleh realitas politik dan ataupun subtansi keislaman itu sendiri. Pemaknaan bahwa Islam, dalam konteks kajian dijadikan sebagai instrumen yang bertujuan untuk dapat mengantar kehidupan seseorang kepada keselamatan hidup dunia dan akhirat. Merujuk kepada makna akar kata, Islam ia diartikan selamat. Dalam perspektif ini pula siapa yang memiliki komitmen teguh terhadap keislamannya berarti dia telah menyediakan dirinya untuk berada pada posisi kehidupan selamat di dunia dan selamat di akhirat. Penelaahan terhadap Islam akan dapat dikonstruksi lewat pangkajian yang detail akan kandungan Islam yang meliuputi tiga hal pokok penting, yaitu konsep iman, konsep islam serta konsep ihsan. Formulasi ketiga konsep ini berada pada tataran Islam sebagai aqidah, syariah dan akhlak. Kehadiran Muhammad Saw sebagai pengemban risalah Islam itu sendiri adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai dasar tersebut di dalam kehidupan kemanusiaan.

b.      Pengendalian Sosial di Aceh.
Seperti contoh pengendalian sosial di Aceh yaitu provinsi Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) dan sejarahnya. Aceh (sebelumnya dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Aceh) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara

3.      Renungan Terhadap Realitas Sosial Masyarakat Kita Aceh.

Komunitas yang tinggal di Aceh secara defacto maupundejure adalah komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya diukur oleh dunia materi  semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif Islam.

Kalau ini disebut sebagai claim bisa saja ditolak oleh berbagai pihak. Namun sebelum itu diperlukan juga kearifan yang bersahaja, bahwa betapa banyak komunitas kita yang telah mengabaikan nilai-nilai prinsip kehidupan yang telah diterapkan oleh endatu hanya untuk mengejar untuk kepentingan dunia material. Apa yang saya amati adalah, bersamaan dengan sebuah komunitas masyarakat  mengabaikan nilai-nilai tradisi adat-istiadat keacehannya akan memiliki kecenderungan akan dengan sangat mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai hedonistik yang menular dalam berbagai dimensi kehidupan. Kembali kepada nilai tradisi yang berbasiskan syariat akan dapat membentengi diri manusia ke dimensi etis normatif yang diharapkan menjadi role model bagi komunitas lainnya. Dari sisi ini tugas dan tanggung jawab komunitas yang menjunjung tinggi nilai syariat itu menjadi sangat spesifik. Sehingga ia tidak mudah disetrum oleh segala bentuk paham ataupun aliran yang dapat menggerogoti nilai-nilai normatif yang dianut.
Bagaimanapun juga kesenangan, kebahagiaan semu tanpa disertai dengan pertimbangan nilai-nilai normatif moral keberagamaan yang dijadikan sebagai orientasi hidup adalah langkah keliru. Kalau saja dapat dipahami bahwa prinsip dasar hedonik sebagai bentuk kondisi sosial duniawi yang tak terbantahkan, sudah saatnya kita mereview kembali apa yang diisyaratkan Abu Hurairah ra sebagai hadis Nabi Saw, beliau bersabda bahwa: inn al-dunya mal’unat mal’un wama fiha, illa ndzikr Allah wama wa Lahu, wa ‘alimun, wa mutaalimun (hr Ahmad). Apa yang dapat dipetik dari sabda tersebut, bahwa duniawi ini adalah terlaknat termasuk segala isinya  kecuali orang yang berdzikir (ingat) kepada Allah, orang yang berilmu (tambahan di hadis lain mengamalkan ilmunya) dan orang yang belajar.
Ya, kita dapat memahami, bahwa dunia ini penuh tipu daya karena itu dia terlaknat. Kalau kita tidak arif menyikapi dunia beserta segala isinya tentu kita akan diperbudak oleh dunia, disinilah posisi duniawi itu terlaknat. Diharapkan hanya mereka yang berdzikir, memiliki ilmu serta belajarlah yang mampu menahan serta menselaraskan kehidupan duniawi penuh tipu daya ini diolah menjadi sebuah kebajikan, karena prilaku kita di dalam pemanfaatan duniawi ini diredhai oleh Allah. Bukankah redha ilahi itu menjadi urgen bagi menusia yang mengedepankan nilai-nilai normatif keberagamaan di dalam kehidupannya.Terkait dengan hedonisme, tentu saja kita tidak dapat pungkiri menjadi trend kehidupan komunitas hari ini. Ini tidak lebih karena kepribadian yang telah mentuhankan dunia meterial sebagai tujuan hidup. Dalam posisi ini diperlukan kearifan kembali kepada nilai-nilai tradisi adat istiadat serta nilai normatif keberagamaan dalam dimensi ferennial dapat membentengi diri terhindar dari pengaruh hedonik.

4.      Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi.

   Seorang ahli sosiologi Gerhard Lenski (1985), mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang analisis yaitu:
Ø Mikrososiologi, menurut Lenski yaitu bagian sosiologi yang mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada individu. Sedangkan menurut Collins yaitu bagian sosiologi yang melibat analisis rinci mengenai apa yang di lakukan, di katakan, dan di pikirkan manusia dalam laju pengalaman sesaat.
Maksud dari kedua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa Mikrososiologi ialah menyelidiki berbagai pola pikiran dan prilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil. Orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai sosiolog mikro tertarik kepada berbagai gaya komunikasi verbal dan non verbal dalam hubungan sosial face-to-face, proses pengambilan keputusan oleh para hakim, formasi dan integrasi kelompok perkawanan, dan pengaruh keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok terhadap pandangan dunianya.[1]
Mikro pada tingkat perubahan sosialnya  lebih kepada keteraturan yang berasal dari tekanan internalisasi dan bersifat individual, yang berarti bahwa keteraturan berasal dari negosiasi individual.[2]
Ø Makrososiologi, menurut Lenski yaitu bagian sosiologi yang mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh serta sistem masyarakat dunia. Sedangkan menurut Collins yaitu bagian sosiologi yang melibatkan analisis proses sosial berskala besar dan berjangka panjang. Jadi dari kedua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa makrososiologi mempersembahkan segala usahanya untuk mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ia memusatkan perhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya. Seperti ekonomi, sistem politik, pola kehidupan keluarga, dan bentuk sistem keagamaannya. Ia juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi. Banyak sosiolog makro yang membatasi diri mereka dengan hanya mengkaji masyarakat tertentu pada suatu penggalan sejarah tertentu pula. Makro pada tingkat perubahan sosialnya lebih kepada keteraturan secara eksternal yang di ciptakan dan bersifat alamiah, yang berarti bahwa keteraturan di hasilkan oleh fenomena kolektif.
Ø Mesososiologi, menurut Lenski yaitu bagian sosiologi yang tertarik pada institusi khas dalam masyarakat.

Jadi, apabila kita melihat penerapan pembagian makrososiologi, mesososiologi, dan mikrososiologi di Aceh. Kita bisa melihat antara Punk Vs Syari’at Islam di Aceh.
Jika mendengar berita konser punk digerebek oleh polisi barangkali agak biasa, tapi yang membuat berita tersebut luar biasa ialah penggerebekan dilakukan oleh polisi syari’ah (wilayatul hisbah/WH). Hal ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konser musik di Indonesia. Illiza Sa’aduddin Djamal, wakil walikota Banda Aceh yang bertanggung jawab atas penggerebekan tersebut mengatakan bahwa alasan penangkapan ialah karena “punk rock  itu buruk dan tidak sesuai dengan syari’at Islam”.[3]
Dalam insiden tersebut, 65 punk mengalami tindakan kasar dari aparat seperti pemukulan, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penggundulan, dibenamkan ke dalam air dingin, dan ‘pembinaan’ dengan paksa selama 10 hari di camp kepolisian (SPN). Illiza mengatakan bahwa penangkapan dilakukan guna ‘menyelamatkan’ generasi muda Aceh dari ‘perilaku yang negatif.’ Sejak itu pemerintah kota Banda Aceh berjanji akan bekerjasama dengan kepolisian, dan polisi syari’ah untuk terus mencari dan menangkap siapa pun yang menunjukkan identitas punk di wilayah Banda Aceh. Dalam konteks ini, punk di Aceh dipandang sebelah mata. Ia diidentikkan dengan budaya nihilisme, seperti mengkonsumsi narkoba, free-sex, kekerasan, dan kriminalitas. Maka dari itu setiap punk yang ditangkap akan dikirim ke SPN untuk ‘dibina’ agar menjadi ‘anak yang baik’ dan ‘disiplin.’
Tindakan para aparat di Aceh ini telah melanggar hukum dan prinsip hak asasi manusia. Pertama, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kawanan punk tersebut. Kedua, aparat melarang punk yang ditangkap untuk mendapatkan bantuan hukum. Ketiga, pihak aparat bahkan melarang mereka menghubungi orang tua mereka ketika ditangkap. Keempat, mereka dipaksa digunduli dan ‘dibina’ di luar kehendak mereka, dan di’permalukan’ di depan publik. Kelima, kebebasan berekspresi dan berkumpul mereka dibatasi (bahkan dinihilkan). Terakhir, pihak walikota Banda Aceh, kepolisian, dan polisi syari’ah telah melakukan diskriminasi kelompok sosial dimana komunitas punk dituduh bertentangan dengan agama dan syari’at Islam.
Terlepas dari pelanggaran hukum dan prinsip HAM yang dilakukan oleh pihak walikota, kepolisian, dan polisi syari’ah ini, sebagian masyarakat Aceh yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam termasuk FPI, HUDA, PII, KAMMI, KAPMI dan HMI mendukung langkah untuk menganihilasi komunitas punk tersebut. Kini pelucutan elemen-elemen punk dari generasi muda di Aceh akan semakin gencar dilakukan. Dengan semangat ‘menjaga’ kemurnian syari’at Islam, aparat bekerjasama dengan ormas-ormas Islam di Aceh seolah-olah melancarkan ‘jihad’ melawan punk!
Langkah pemerintah dan kelompok Islam di Banda Aceh ini, bagaimanapun juga, telah menuai kritik dari masyarakat domestik dan internasional. Komunitas punk di Jakarta, Makassar, dan Bandung menggelar aksi solidaritas untuk kawan-kawan punk yang ditangkap di Aceh dengan berunjuk rasa turun ke jalan. Mereka menuntut agar aparat di Aceh bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukan kepada saudara-saudara mereka, dan meminta agar pihak kepolisian serta walikota Banda Aceh segera membebaskan mereka, dan membersihkan nama baiknya. Di Moskow, komunitas Anarcho-punk Rusia menunjukkan aksi solidaritas yang serupa dengan menyampaikan pesan yang tegas kepada pemerintah Indonesia, yaitu dengan mencorat-coret tembok kantor Kedutaan Besar RI dengan tulisan “Religion=Fascism”, “Punk is not a crime!” Komunitas punk di London, Inggris berdemonstrasi membuat petisi yang serupa yaitu agar kawanan punk di Aceh agar segera dibebaskan (‘Free the Aceh Punks!’). Di Amerika Serikat, komunitas punk di San Francisco dan Los Angeles mendatangai kantor Konsulat Jenderal RI dan menyatakan kekhawatiran mereka terhadap nasib punk di Aceh. Aksi solidaritas juga dilakukan melalui jaringan internet dimana berbagai komunitas punk di seluruh dunia, dari Eropa hingga Asia, ‘bertemu’ dan mengadakan sebuah kampanye mendukung kawanan punk di Aceh dengan mengumpulkan berbagai mixtape berupa kaset dan CD musik (punk, hardcore, dan crust) untuk dikirim ke komunitas punk di Aceh. 
Meskipun respon dan kritik dari berbagai belahan dunia bermunculan, tampaknya pihak Walikota dan Kepolisian Banda Aceh tidak begitu peduli. Sebaliknya, mereka malah beranggapan bahwa “pembinaan” punk adalah suatu tindakan yang “benar”, dan tidak melanggar HAM. Ketika Kapolda Banda Aceh Iskandar Hasan ditelepon oleh Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan pelanggaran HAM terhadap kawanan punk tersebut, ia malah mengatakan pada mereka bahwa penggundulan dan pembenaman anak-anak ke air sungai merupakan sebuah “tradisi”. Ormas-ormas Islam seperti yang disebutkan di atas bahkan menganjurkan agar pembinaan 10 hari anak-anak punk di SPN semestinya diperpanjang hingga 3 bulan. Menurut mereka, punk telah keluar dari “norma agama, budaya, dan adat istiadat Aceh.” 
Dari kasus ini setidaknya ada tiga inti masalah yang mengemuka. Pertama, terdapat mispersepsi antara pemerintah, aparat, dan masyarakat Aceh mengenai budaya dan komunitas punk. Punk dalam kasus ini dinilai sangat negatif, bahkan lebih buruknya lagi, dihakimi ‘sesat’ oleh sebagian kelompok Islam, meski punk sama sekali bukan sekte agama. Mispersepsi dan salah pengertian ini kemudian melahirkan persoalan yang kedua, yaitu seolah-olah adanya demarkasi antara punk dengan Islam (“punk versus Islam”). Di sini persoalan menjadi serius, karena penganut punk dan subkultur sejenisnya adalah orang-orang beragama yang kebanyakan Muslim. Masalah ini sangat penting untuk diklarifikasi bersama guna menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Pemerintah, masyarakat, dan ilmuwan, termasuk di dalamnya komunitas punk, mesti berdialog secara aktif dan mengklarifikasi persoalan punk versus agama ini sebelum berakumulasi atau merembet ke persoalan-persoalan lain yang lebih serius. 



5.      Sejara Aceh.
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.

Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi.
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku.
Apabila kita melihat tatanan sosial pada masyarakat Aceh, antara kehidupan Syari’ah dan Percikan Hedonisme maka pada saat itu Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang, termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembangan yang ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Seperti contoh pengendalian sosial di Aceh yaitu provinsi Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) dan sejarahnya. Aceh (sebelumnya dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Aceh) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Komunitas yang tinggal di Aceh secara defacto maupundejure adalah komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya diukur oleh dunia materi  semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif Islam.
Seorang ahli sosiologi Gerhard Lenski (1985), mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang analisis yaitu: Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi.













Daftar Referensi

·         Sunarto Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004)
·         Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta selatan: Ghalia Indonesia, 2002)
·         Salim Agus, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002)



[1] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta selatan: Ghalia Indonesia, 2002). hlm:21
[2] Salim Agus, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002).hlm: 256

Tidak ada komentar:

Posting Komentar