Halaman

Senin, 04 Juni 2012

tasyakuran atau walimah



Nama          : Muhammad Fajri
Nim             : 421006007
jurusan        : BPI ( Fak. Dakwah IAIN Ar-raniry Banda Aceh)
leting/unit    : 2010/05


BAB I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Walimah.
Walimah berarti penyajian makanan untuk acara pesta. Ada juga yang mengatakan, walimah berarti segala macam makanan yang dihidangkan untuk acara pesta atau lainnya. Dengan kata lain walimah juga dikenal dengan istilah syukuran atau selamatan.
Di Indonesia ini kita sering melihat dan melaksanakan berbagai macam walimah yang tak jarang juga tercampur dengan tradisi dan bukan semata seperti sunnah yang dijalankan Rasulullah SAW. Selain walimatul ursy (walimah pernikahan) di masyarakat sering pula mengadakan walimah khitan, aqiqah, khatam Quran, menempati rumah baru, berangkat haji, dan lainnya.
Walimah merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadist riwayat Anas bin Malik, bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wassalam pernah berkata kepada Abdurrahman bin Auf:
"Adakan walimah, meski hanya dengan dengan satu kambing." (Muttafaqun Alaih).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah SAW pernah melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bertanya: "apa ini?""Wahai Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita dengan (mas kawin) seberat biji emas," jawab Abdurrahman. Lalu beliau mengucapkan: "Mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Adakanlah walimah, meski hanya dengan seekor kambing." (HR. At-Tirmidzi). Imam At-Tirmidzi mengatakan, "ini merupakan hadits hasan sahih."
Jumhur ulama berpendapat, bahwa walimah merupakan suatu hal yang sunnah dan bukan wajib. Tentang macam-macam walimah (undangan makan) secara rinci, antara lain dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fat-hul Bari Syarh Shahih Bukhari. Beliau menyatakan bahwa An Nawawi rahimahullah, yang mengikuti Al Qadhi ‘Iyaadh rahimahullah, menyebutkan walimah itu ada 9 macam:
1.      Al-I’dzaar atau al ‘udzrah, yaitu walimah karena khitan.
2.      A- ‘Aqiiqah, walimah karena kelahiran (gembira terhadap bayi).
3.       Al-Khurs atau al khur-sh, walimah karena keselamatan seorang wanita dari perceraian. Ada yang menyatakan, al khurs adalah walimah karena kelahiran.
4.      Al-‘Aqiiqah, walimah kelahiran khusus hari ke tujuh.
5.       An naqii’ah, walimah karena kepulangan orang yang bepergian. Ada yang menyatakan, an naqii’ah adalah walimah yang dibuat oleh orang yang datang (dari safar). Sedangkan walimah yang dibuatkan untuknya dinamakan at tuhfah.
6.      Al-Wadhiimah, walimah di saat musibah.
7.      Al-Ma’dubah atau al ma’dabah, walimah yang diadakan tanpa sebab. Jika al aa’dubah ini diadakan untuk orang-orang yang ditentukan, maka dinamakan an aaqaraa, jika untuk umum, dinamakan al jafalaa.
8.      Walimah, undangan makan karena pernikahan. Ada yang menyatakan, walimah adalah undangan makan setelah dukhul (pengantin baru menggauli isterinya). Adapun undangan makan imlaak (ijab-qabul, acara pernikahan) dinamakan asy syundukh atau asy syundakh. (Kemudian Al Hafizh menambahkan jenis walimah lainnya, yaitu:)
9.      Al-Hidzaaq, undangan makan yang dibuat di saat anak kecil pintar (ahli). Ibnur Rif’ah mengatakan: “Al-Hidzaaq adalah undangan makan yang dibuat karena khatm (penutupan), yaitu khatm Al Qur’an”. Begitu dia mengkhususkan. Dan dimungkinkan khatm (penutupan) apa yang dia niatkan. Juga dimungkinkan, hal itu umum pada keahlian anak untuk tiap-tiap pekerjaan.
Walimah-walimah yang disebutkan oleh para ulama di atas, hukum asalnya adalah mubah, karena walimah termasuk urusan keduniaan. Yaitu urusan yang biasa dilakukan oleh manusia karena bermanfaat di dunia ini. Karena hukumnya mubah, maka jangan sampai dianggap sunnah, apalagi wajib, sehingga orang yang meninggalkannya dicela. Atau menganggapnya makruh atau haram, sehingga orang yang melakukannya dicela. Kecuali walimah yang diperintahkan atau dianjurkan oleh agama, sehingga menjadi ibadah wajib atau mustahab. Atau walimah yang dilarang, sehingga manjadi haram atau makruh.
Diantara walimah-walimah di atas, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syari’at yaitu : Walimatul ‘Ursy (walimah pernikahan) dan Walimah Aqiqah pada hari ke tujuh kelahiran bayi. Dalilnya sebagai berikut:
"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) darinya pada hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama" [HR Abu Dauwd, no. 2.838; Tirmidzi, no. 1.522; Ibnu Majah, no. 3.165; Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Diantara walimah-walimah di atas yang dilarang syari’at, yaitu Al-Wadhiimah (walimah saat tertimpa musibah). Misalnya, seperti selamatan kematian yang dilakukan oleh banyak umat Islam.
B.     Tradisi Tasyakuran atau Walimah.
Sudah menjadi tradisi di seluruh penjuru nusantara, ketika menyelenggarakan acara sunatan, maka mengadakan (walimatul khitan) tasyakuran khitanan, acara kemantin dimeriahkan dengan walimatul ‘arus, ketika selesai mendirikan sebuah bangunan juga mengadakan walimah, atau ketika mendapatkan rejeki lalu mengadakan tasyakuran atau walimah, baik tasyakuran itu dimeriahkan secara sederhana atau dengan istimewa. Bagaimanakah tradisi budaya acara tasyakuran atau walimah tersebut dalam pandangan fiqih?
Dalam pandangan fiqih tradisi budaya acara tasyakuran tersebut tidaklah bertentangan dengan syari’at Islam, sebab tasyakuran tersebut termasuk salah satu jenis walimah yang dianjurkan oleh ajaran Islam sebagaimana hadits Nabi:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ . (رواه الشيخان)
Artinya: “Adakanlah walimah (dalam pernikahan)” sekalipun hanya dengan seekor kambing” (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad al-Thayalisi, dan banyak terdapat pada kitab hadits-hadits yang lain)
Artinya: “Adapun walimah-walimah yang lain selain walimah pernikahan menurut madzhab yang ditetapkan mayoritas ulama adalah sunnah dan kesunatannya menjadi kuat pada walimah pernikahan”
Walimah merupakan undangan untuk merayakan kebahagiaan. Sedangkan hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib kecuali ada ‘udzur.
C.    Adat Upacara Kehamilan dan Kelahiran Anak.
Sudah menjadi tradisi di belahan Nusantara terutama di pulau Jawa ketika suatu keluarga akan dikaruniai seorang anak, maka pada masa kehamilannya sudah menginjak umur 3 atau 4 bulan,  7 atau 8 bulan, keluarga tersebut mengadakan kendurenan atau tasyakuran, (Neloni, Mitoni/Tingkepan) yang acara di dalamnya membacakan surat-surat Al-Qur’an seperti Surat Yusuf, Maryam, Muhammad, Al-Kahfi, Yasin, Fatah, Mulk, Taubat, Al-Rohman, Al-Waqi’ah, dan dilanjutkan dengan tabarukan do’a untuk Si Calon bayi dan keluarga. Yang menjadi persoalan, Apakah tradisi ini dibenarkan oleh agama? Dan apakah ada dalil yang mendukungnya?
Ulama’ berpendapat bahwa ritual tersebut dapat dibenarkan, karena termasuk kategori walimah,  sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 68, sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Sedangkan dalil dari Al-Qur’an yang mendukung adanya tradisi tersebut diantaranya adalah Surat Al-A’raaf ayat 189 yaitu:
 * uqèd Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur Ÿ@yèy_ur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry z`ä3ó¡uŠÏ9 $pköŽs9Î) ( $£Jn=sù $yg8¤±tós? ôMn=yJym ¸xôJym $ZÿÏÿyz ôN§yJsù ¾ÏmÎ/ ( !$£Jn=sù Mn=s)øOr& #uqt㨊 ©!$# $yJßg­/u ÷ûÈõs9 $oYtGøŠs?#uä $[sÎ=»|¹ ¨ûsðqä3uZ©9 z`ÏB šúï̍Å3»¤±9$# ÇÊÑÒÈ  
189. Dia lah (Allah) Yang menciptakan kamu semua dari (hakikat) diri Yang satu, dan ia mengadakan daripada hakikat itu pasangannya (diri suami isteri), untuk bersenang hati dan hidup mesra Yang satu kepada Yang lain. ketika suami mencampuri isterinya, mengandunglah ia Dengan kandungan Yang ringan, serta teruslah ia Dengan keadaan itu (ke suatu waktu). kemudian ketika ia merasa berat (dan menaruh bimbang) berdoalah suami isteri itu kepada Tuhan mereka (dengan berkata):" Sesungguhnya jika Engkau (Wahai Tuhan kami) mengurniakan Kami nikmat Yang baik, tentulah Kami menjadi orang-orang Yang bersyukur".
Sudah menjadi tradisi di Nusantara, ketika sa’at kelahiran seorang bayi, orang tuanya segera mengadzani pada telinga kanan Sang bayi dan mengiqomahi pada telinga kiri Sang bayi. Bagaimanakah fatwa Ulama’ dalam masalah tradisi ini?
Dalam masalah adzan dan iqomah pada bayi yang baru lahir sebagaimana yang sudah menjadi tradisi di Nusantara tersebut, para Ulama’ sepakat tidak menentangnya justru menganjurkannya (menghukumi mustahab/sunah) dengan berpegangan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rofi’ ra. dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Sayidina Husain bin Ali ra. sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Al-Adzkar Al-Nawawi pada bab Al-Adzan Fi Udzunil Maulud, hal : 244.
 Hadits diriwayatkan dari Abi Rofi’ ra, Beliau berkata : ”Aku melihat Rasulullah Saw. mengumandangkan adzan ditelinga Husain bin Ali ra. ketika Siti Fatimah melahirkannya (yakni) dengan adzan sholat”. Munurut Imam Tirmidzi Hadits ini adalah Hadits Hasan-Shahih”. Sebagian ulama’ dari golongan kita berkata “Disunnahkan untuk membacakan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri”. (Al-Adzkar Al-Nawawi bab Al-Adzan Fi Udzunil Maulud, hal. 244)
Hal senada juga dapat dilihat pada keterangan Kitab Majmu’ Fatawi Wa Rosail, hal. 112 tentang fadilah dan keutamaan adzan untuk bayi yang baru lahir.
Yang pertama mengumandangkan adzan ditelinga kanan anak yang baru lahir lalu membacakan iqomah di telinga kiri. Ulama’ telah menetapkan bahwa perbuatan ini tergolong sunnah. Mereka telah mengamalkan hal tersebut tanpa seseorang pun mengingkari. Perbuatan ini ada relevansi, untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan itu akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagaimana ada keterangan di dalam hadits. (Majmu’ Fatawi Wa Rasail, hal.112)
Setiap bayi yang lahir pasti disertai gumpalan daging yang berisi darah atau biasanya disebut ari-ari, bersamaan dengan dibersihkannya badan bayi setelah lahir dan dipotong pusarnya, ari-ari tersebut sudah tidak berguna lagi, tetapi adat/tradisi dan budaya di Nusantara menganggap dan mengambil ari-ari tersebut dengan sangat terhormat, sehingga ari-ari tersebut dikubur pada tanah secukupnya baik itu ari-ari pembungkus bayi ataupun ari-ari yang sambung dengan tali pusar. Setelah penanaman ari-ari bayi ini selesai, biasanya di atasnya diberi semacam damar, lilin/lentera sebagai penerangan dan ditaburi tiga macam bunga (kembang telon) kemudian disirami dengan air bunga atau memberikan wangi-wangian/kemenyan dan lain-lain, dan ditutup dengan kendi atau kuali.
Dalam konteks sosial dan tradisi budaya yang semacam ini, bagaimanakah pandangan Ulama’ mengenai hukum adat tradisi menanam ari-ari dan budaya-budaya yang menyertainya penanaman ari-ari tersebut ?
Hukum menanam ari-ari adalah sunnah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Asnal Mathalib Syarah Raudhatu Thalib:
Disunnahkan mengubur sesuatu (anggota badan) yang terpisah dari orang yang masih hidup atau yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, gumpalan darah, darah akibat goresan dan suatu barang lain yang serupa, demi menghormati pemiliknya. (Asna al-Mathalib Fii Syarkhi Raudhah Al-Thalib bab al-Shalatu ‘Ala al-Mayyit juz 1 hal. 313)
Sedangkan hukum dari budaya yang menyertainya seperti menaburkan bunga di atasnya, memberikan wangi-wangian/kemenyan, menyalakan lampu, damar atau lilin dan menutup dengan kendi atau kuali dan lain-lain, adalah sebagai berikut:
Maksud tabdzir atau mubadzir adalah menasarufkan harta di luar kewajarannya, yakni segala sesuatu yang tidak ada gunanya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga mencakup segala hal yang diharamkan maupun yang dimakruhkan. (Al-Bajuri ‘alaa Fathu al-Mu’in Fii Ta’rifi al-Tabdzir)
 Nusantara memang kaya dengan tradisi, selain tradisi adzan dan iqomah di atas, di Nusantara terutama di Jawa juga terdapat tradisi yang dinamakan ”Ceta’an/nyeta’i” yaitu sebuah tradisi pemberian suapan pertama pada seorang bayi yang baru lahir dan do’a berkah pada Sang bayi. Apakah tradisi semacam ini, juga dibenarkan oleh agama?
Dalam hal ini, Ulama’ membenarkan adanya tradisi ceta’an  tersebut dengan berpedoman pada hadits yang diriwayatkan dari Sayyidatina ’Aisyah ra. dan juga hadits yang diriwayatkan dari Asma’ binti Abi bakar yang menerangkan tentang haliyah keseharian Rasulullah ketika bertepatan dengan adanya kelahiran seorang bayi yang baru lahir, Beliau melaksanakan ceta’an dan berdo’a keberkahan. Hal ini, diterangkan pada Kitab Al-Ahkam Al-Nawawi, yang diambil dari Kitab Shahih Bukhari-Muslim.
Dari Sayyidatina ’Aisyah ra. Beliau berkata: Rasulullah Saw. sering kedatangan anak-anak bayi yang baru lahir, Beliau langsung mendo’akan dan melaksanakan ceta’an (pada mulut) mereka”. Dan dalam satu riwayat, maka Rasulullah Saw. mendo’akan keberkahan untuk mereka (bayi). (Al-Ahkam Al-Nawawi, hal. 244).
Dari Sayyidatina Asma’ binti Abi Bakar, Beliau berkata: Pada saat saya hamil putranya Abdullah bin Zubair di Makah, suatu waktu kami pergi ke Madinah, berhubung saya menyempurnakan shalat, sesampai di Madinah saya berhenti di masjid Quba’ (untuk menunaikan shalat), mendadak saya melahirkan di masjid. Maka seraya saya datang sowan ke Rasulullah Saw. Maka Rasulullah membopong/menaruh Si Kecil dipangkuannya, kemudian beliau meminta tamar (kurma) dan mengunyahnya, lalu disuapkan pada mulut bayiku, maka makanan yang pertama kali masuk kemulud bayiku adalah ludah Rasulullah Saw. Kemudian Rasul menceta’i bayiku dengan kurma tersebut, kemudian Beliau berdo’a berkah untuknya. Dan putra Abdullah bin Zubair adalah bayi yang terlahir pertama kali di masa Islam. (Shahih Muslim bab Istihbab Tahniki al-Maulud)
Setelah masa kelahiran anak yaitu setelah umur tujuh hari, di Nusantara ada tradisi yang namanya ‘aqiqoh yaitu upacara pemotongan rambut bayi yang baru lahir dengan menyembelih kambing, sekaligus memberikan nama pada bayi yang baru lahir (Walimatut Tasmiyah).
Upacara aqiqah biasanya sebelumnya diiringi dengan acara ritual yaitu pembacaan surat Yasiin dan berzanjen (maulidin Nabi) pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi, pada saat mahalul qiyam (maqom) diadakan upacara pemotongan rambut pertama pada bayi. Tradisi ini biasanya dirangkai dengan acara tasyakuran keluarga, mengundang sanak famili, kerabat dan tetangga. Bagaimanakah fatwa Ulama’ dalam menyikapi hukum pada tradisi tersebut?
Dalam hal ini, Ulama’ berpendapat bahwa ‘aqiqah dilaksanakan karena setiap anak (ketika lahir) itu masih tergadaikan dengan aqiqohnya, untuk menebus/membebaskannya maka harus dengan menyembelihkan (hewan kambing) pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Pendapat ini berpedoman pada hadits yang diriwayatkan Samroh Ibnu Jundab ra.
Hadits diriwayatkan dari Samroh ibnu Jundab ra. menyatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: ”Setiap anak itu masih tergadaikan dengan aqiqohnya, disembelihkan (hewan kambing) pada hari ketujuh dari hari kelahirannya adalah sebagai pembebasannya, dilanjutkan pelaksanakan pencukuran rambut dan pemberian nama”. (Sunan Abi Dawud bab Fii al-Aqiqoh)
Melaksanakan aqiqoh dihukumi sunnah, sebagaimana di jelaskan dalam kitab al-Muqoddimah al-Khadlramiyah Fashlun Fi al-Aqiqoh, adapun waktu pelaksanaannya adalah mulai bayi dilahirkan sampai dia baligh (ketika sudah baligh, maka dia mengaqiqahi dirinya sendiri, bukan orang tuannya).
Dan waktu yang paling utama untuk aqiqah adalah pada hari ke-7 dari kelahiran bayi, apabila belum mampu pada hari ke-7 maka diaqiqohi pada hari ke-14 atau hari ke-21;
Adapun hewan ‘aqiqah yang disembelih sunnahnya adalah:
a.       2 ekor kambing untuk bayi laki-laki.
b.      ekor kambing untuk bayi perempuan
Sebagaimana keterangan di bawah ini:
Dan yang paling utama dalam aqiqah, menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan, berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan Siti ‘aisyah ra. “Bahwa Rasulullah Saw. memerintahkanku menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 381).
D.    Hukum Khitan.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana keterangan berikut ini:
Sebagaimana diterangkan dalam Kitab I’anatut Thalibin:
 Dan dihukumi wajib untuk melaksanakan khitan bagi anak perempuan dan anak laki-laki yang sekiranya sebelum dilahirkan sudah dalam kondisi dikhitan. Kewajiban pelaksanaan khitan ini berdasarkan atas Firman Allah Swt: “Ikutilah ajaran Nabi Ibrahim”. Dan diantara ajaran Nabi Ibrahim adalah khitan, nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun. Dan pendapat lain mengatakan pelaksanaan khitan dihukumi wajib bagi anak laki-laki dan dihukumi sunnah bagi anak perempuan. Sebagaimana pendapat mayoritas Ulama’”. (I’anah Al- Thalibin, Juz 4 hal. 173)
E.     Adat Walimatul Khitan.
Adat atau tradisi walimatul khitan/Sunatan di wilayah Nusantara sudah berlaku sejak nenek moyang sampai sekarang ini. Pelaksanaan Sunatan ini, sering dimaknai sebagai masa awal seorang  anak untuk mengenal apa yang disebut dewasa. Sedang pelaksanaan khitanan ini di berbagai daerah beragam, ada yang melaksanakan pada hari ke tujuh hari kelahiran, ada yang pada hari ke empat puluhnya, namun rata-rata adalah ketika Si anak berumur  7 sampai 9 tahun.
Dan dalam hal ini, banyak sekali model dan tradisi yang berkembang di masyarakat tentang pelaksanaan Walimatul Khitan ini. Yang menjadi persoalan, Apakah ada dasar hukumnya menjalankan tradisi Walimatul Khitan/tasyakuran sunatan tersebut?.
Dalam konteks ini, ulama’ berpendapat;
Dan dhahir dari perkataan para ulama’ di dalam walimah, sesungguhnya meramaikannya adalah sunnah bagi laki-laki dan perempuan, kecuali apa yang dikatakan para ulama’ tidak menuntut hukum kesunnahan walimah khitan untuk meramaikannya bagi wanita. (Hasyiyah ‘Ianah al-Thalibin juz 4 hal 175)







BAB II
PENUTUP

A.    KESIMPULAN.

Walimah berarti penyajian makanan untuk acara pesta. Ada juga yang mengatakan, walimah berarti segala macam makanan yang dihidangkan untuk acara pesta atau lainnya. Dengan kata lain walimah juga dikenal dengan istilah syukuran atau selamatan.
Walimah merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadist riwayat Anas bin Malik, bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wassalam pernah berkata kepada Abdurrahman bin Auf:
"Adakan walimah, meski hanya dengan dengan satu kambing." (Muttafaqun Alaih).
Dan waktu yang paling utama untuk aqiqah adalah pada hari ke-7 dari kelahiran bayi, apabila belum mampu pada hari ke-7 maka diaqiqohi pada hari ke-14 atau hari ke-21;
Adapun hewan ‘aqiqah yang disembelih sunnahnya adalah:
a.       2 ekor kambing untuk bayi laki-laki.
b.      ekor kambing untuk bayi perempuan
Sebagaimana keterangan di bawah ini:
Dan yang paling utama dalam aqiqah, menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagci bayi perempuan, berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan Siti ‘aisyah ra. “Bahwa Rasulullah Saw. memerintahkanku menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 381).

DAFTAR REFERENSI
1.      Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Fiqh Wanita Edisi Lengkap, Pustaka Al-Kautsar, Oktober 2011
2.      Majalah As-Sunnah Edisi Khusus /Tahun VIII/1427H/2006M.
3.      http://pinkngalah.wordpress.com/2011/02/11/bab-v-sosial-%E2%80%93-budaya/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar