Nama : Muhammad Fajri
Nim : 421006007
jurusan : BPI ( Fak. Dakwah IAIN Ar-raniry Banda Aceh)
Nim : 421006007
jurusan : BPI ( Fak. Dakwah IAIN Ar-raniry Banda Aceh)
leting/unit : 2010/05
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Walimah.
Walimah
berarti penyajian makanan untuk acara pesta. Ada juga yang mengatakan, walimah
berarti segala macam makanan yang dihidangkan untuk acara pesta atau lainnya.
Dengan kata lain walimah juga dikenal dengan istilah syukuran atau selamatan.
Di Indonesia
ini kita sering melihat dan melaksanakan berbagai macam walimah yang tak jarang
juga tercampur dengan tradisi dan bukan semata seperti sunnah yang dijalankan
Rasulullah SAW. Selain walimatul ursy (walimah pernikahan) di masyarakat sering
pula mengadakan walimah khitan, aqiqah, khatam Quran, menempati rumah baru,
berangkat haji, dan lainnya.
Walimah
merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadist riwayat Anas bin
Malik, bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wassalam pernah berkata kepada Abdurrahman
bin Auf:
"Adakan
walimah, meski hanya dengan dengan satu kambing." (Muttafaqun Alaih).
Dalam
riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah SAW pernah melihat bekas kuning pada
Abdurrahman bin Auf, maka beliau bertanya: "apa ini?""Wahai
Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita dengan (mas kawin) seberat biji
emas," jawab Abdurrahman. Lalu beliau mengucapkan: "Mudah-mudahan
Allah memberkati kalian. Adakanlah walimah, meski hanya dengan seekor kambing."
(HR. At-Tirmidzi). Imam At-Tirmidzi mengatakan, "ini merupakan hadits
hasan sahih."
Jumhur ulama
berpendapat, bahwa walimah merupakan suatu hal yang sunnah dan bukan wajib. Tentang macam-macam walimah (undangan makan) secara rinci, antara lain
dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fat-hul Bari
Syarh Shahih Bukhari. Beliau menyatakan bahwa An Nawawi rahimahullah, yang
mengikuti Al Qadhi ‘Iyaadh rahimahullah, menyebutkan walimah itu ada 9 macam:
1.
Al-I’dzaar atau al ‘udzrah, yaitu
walimah karena khitan.
2.
A- ‘Aqiiqah, walimah karena
kelahiran (gembira terhadap bayi).
3.
Al-Khurs atau al khur-sh, walimah karena
keselamatan seorang wanita dari perceraian. Ada yang menyatakan, al khurs
adalah walimah karena kelahiran.
4.
Al-‘Aqiiqah, walimah kelahiran
khusus hari ke tujuh.
5.
An naqii’ah, walimah karena kepulangan orang
yang bepergian. Ada yang menyatakan, an naqii’ah adalah walimah yang dibuat
oleh orang yang datang (dari safar). Sedangkan walimah yang dibuatkan untuknya
dinamakan at tuhfah.
6.
Al-Wadhiimah, walimah di saat
musibah.
7.
Al-Ma’dubah atau al ma’dabah,
walimah yang diadakan tanpa sebab. Jika al aa’dubah ini diadakan untuk
orang-orang yang ditentukan, maka dinamakan an aaqaraa, jika untuk umum,
dinamakan al jafalaa.
8.
Walimah, undangan makan karena
pernikahan. Ada yang menyatakan, walimah adalah undangan makan setelah dukhul
(pengantin baru menggauli isterinya). Adapun undangan makan imlaak (ijab-qabul,
acara pernikahan) dinamakan asy syundukh atau asy syundakh. (Kemudian Al Hafizh
menambahkan jenis walimah lainnya, yaitu:)
9.
Al-Hidzaaq, undangan makan yang
dibuat di saat anak kecil pintar (ahli). Ibnur Rif’ah mengatakan: “Al-Hidzaaq
adalah undangan makan yang dibuat karena khatm (penutupan), yaitu khatm Al
Qur’an”. Begitu dia mengkhususkan. Dan dimungkinkan khatm (penutupan) apa yang
dia niatkan. Juga dimungkinkan, hal itu umum pada keahlian anak untuk tiap-tiap
pekerjaan.
Walimah-walimah
yang disebutkan oleh para ulama di atas, hukum asalnya adalah mubah, karena
walimah termasuk urusan keduniaan. Yaitu urusan yang biasa dilakukan oleh
manusia karena bermanfaat di dunia ini. Karena hukumnya mubah, maka jangan
sampai dianggap sunnah, apalagi wajib, sehingga orang yang meninggalkannya
dicela. Atau menganggapnya makruh atau haram, sehingga orang yang melakukannya
dicela. Kecuali walimah yang diperintahkan atau dianjurkan oleh agama, sehingga
menjadi ibadah wajib atau mustahab. Atau walimah yang dilarang, sehingga
manjadi haram atau makruh.
Diantara
walimah-walimah di atas, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syari’at yaitu
: Walimatul ‘Ursy (walimah pernikahan) dan Walimah Aqiqah pada hari ke tujuh
kelahiran bayi. Dalilnya sebagai berikut:
"Setiap
anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) darinya pada hari
ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama" [HR Abu Dauwd, no.
2.838; Tirmidzi, no. 1.522; Ibnu Majah, no. 3.165; Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani].
Diantara
walimah-walimah di atas yang dilarang syari’at, yaitu Al-Wadhiimah (walimah
saat tertimpa musibah). Misalnya, seperti selamatan kematian yang dilakukan
oleh banyak umat Islam.
B. Tradisi
Tasyakuran atau Walimah.
Sudah
menjadi tradisi di seluruh penjuru nusantara, ketika menyelenggarakan acara
sunatan, maka mengadakan (walimatul khitan) tasyakuran khitanan, acara kemantin
dimeriahkan dengan walimatul ‘arus, ketika selesai mendirikan sebuah bangunan
juga mengadakan walimah, atau ketika mendapatkan rejeki lalu mengadakan
tasyakuran atau walimah, baik tasyakuran itu dimeriahkan secara sederhana atau
dengan istimewa. Bagaimanakah tradisi budaya acara tasyakuran atau walimah
tersebut dalam pandangan fiqih?
Dalam
pandangan fiqih tradisi budaya acara tasyakuran tersebut tidaklah bertentangan
dengan syari’at Islam, sebab tasyakuran tersebut termasuk salah satu jenis
walimah yang dianjurkan oleh ajaran Islam sebagaimana hadits Nabi:
أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ . (رواه الشيخان)
Artinya: “Adakanlah walimah (dalam
pernikahan)” sekalipun hanya dengan seekor kambing” (Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad al-Thayalisi, dan banyak terdapat pada kitab
hadits-hadits yang lain)
Artinya: “Adapun walimah-walimah
yang lain selain walimah pernikahan menurut madzhab yang ditetapkan mayoritas
ulama adalah sunnah dan kesunatannya menjadi kuat pada walimah pernikahan”
Walimah
merupakan undangan untuk merayakan kebahagiaan. Sedangkan hukum memenuhi
undangan walimah adalah wajib kecuali ada ‘udzur.
C. Adat Upacara
Kehamilan dan Kelahiran Anak.
Sudah
menjadi tradisi di belahan Nusantara terutama di pulau Jawa ketika suatu
keluarga akan dikaruniai seorang anak, maka pada masa kehamilannya sudah
menginjak umur 3 atau 4 bulan, 7 atau 8 bulan, keluarga tersebut
mengadakan kendurenan atau tasyakuran, (Neloni, Mitoni/Tingkepan) yang acara di
dalamnya membacakan surat-surat Al-Qur’an seperti Surat Yusuf, Maryam, Muhammad,
Al-Kahfi, Yasin, Fatah, Mulk, Taubat, Al-Rohman, Al-Waqi’ah, dan dilanjutkan
dengan tabarukan do’a untuk Si Calon bayi dan keluarga. Yang menjadi persoalan,
Apakah tradisi ini dibenarkan oleh agama? Dan apakah ada dalil yang
mendukungnya?
Ulama’
berpendapat bahwa ritual tersebut dapat dibenarkan, karena termasuk kategori
walimah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dalam kitab
Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 68, sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Sedangkan
dalil dari Al-Qur’an yang mendukung adanya tradisi tersebut diantaranya adalah
Surat Al-A’raaf ayat 189 yaitu:
* uqèd Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur @yèy_ur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry z`ä3ó¡uÏ9 $pkös9Î) ( $£Jn=sù $yg8¤±tós? ôMn=yJym ¸xôJym $ZÿÏÿyz ôN§yJsù ¾ÏmÎ/ ( !$£Jn=sù Mn=s)øOr& #uqt㨠©!$# $yJßg/u ÷ûÈõs9 $oYtGøs?#uä $[sÎ=»|¹ ¨ûsðqä3uZ©9 z`ÏB úïÌÅ3»¤±9$# ÇÊÑÒÈ
189. Dia lah (Allah) Yang menciptakan kamu semua dari (hakikat)
diri Yang satu, dan ia mengadakan daripada hakikat itu pasangannya (diri suami
isteri), untuk bersenang hati dan hidup mesra Yang satu kepada Yang lain.
ketika suami mencampuri isterinya, mengandunglah ia Dengan kandungan Yang
ringan, serta teruslah ia Dengan keadaan itu (ke suatu waktu). kemudian ketika
ia merasa berat (dan menaruh bimbang) berdoalah suami isteri itu kepada Tuhan
mereka (dengan berkata):" Sesungguhnya jika Engkau (Wahai Tuhan kami)
mengurniakan Kami nikmat Yang baik, tentulah Kami menjadi orang-orang Yang
bersyukur".
Sudah
menjadi tradisi di Nusantara, ketika sa’at kelahiran seorang bayi, orang tuanya
segera mengadzani pada telinga kanan Sang bayi dan mengiqomahi pada telinga
kiri Sang bayi. Bagaimanakah fatwa Ulama’ dalam masalah tradisi ini?
Dalam
masalah adzan dan iqomah pada bayi yang baru lahir sebagaimana yang sudah
menjadi tradisi di Nusantara tersebut, para Ulama’ sepakat tidak menentangnya
justru menganjurkannya (menghukumi mustahab/sunah) dengan berpegangan pada
hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rofi’ ra. dan juga hadits yang diriwayatkan
oleh Sayidina Husain bin Ali ra. sebagaimana yang diterangkan dalam kitab
Al-Adzkar Al-Nawawi pada bab Al-Adzan Fi Udzunil Maulud, hal : 244.
Hadits diriwayatkan dari
Abi Rofi’ ra, Beliau berkata : ”Aku melihat Rasulullah Saw. mengumandangkan
adzan ditelinga Husain bin Ali ra. ketika Siti Fatimah melahirkannya (yakni)
dengan adzan sholat”. Munurut Imam Tirmidzi Hadits ini adalah Hadits
Hasan-Shahih”. Sebagian ulama’ dari golongan kita berkata “Disunnahkan untuk
membacakan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri”. (Al-Adzkar
Al-Nawawi bab Al-Adzan Fi Udzunil Maulud, hal. 244)
Hal senada
juga dapat dilihat pada keterangan Kitab Majmu’ Fatawi Wa Rosail, hal. 112
tentang fadilah dan keutamaan adzan untuk bayi yang baru lahir.
Yang pertama mengumandangkan adzan
ditelinga kanan anak yang baru lahir lalu membacakan iqomah di telinga kiri.
Ulama’ telah menetapkan bahwa perbuatan ini tergolong sunnah. Mereka telah
mengamalkan hal tersebut tanpa seseorang pun mengingkari. Perbuatan ini ada
relevansi, untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena
syaitan itu akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagaimana
ada keterangan di dalam hadits. (Majmu’ Fatawi Wa Rasail, hal.112)
Setiap bayi
yang lahir pasti disertai gumpalan daging yang berisi darah atau biasanya disebut
ari-ari, bersamaan dengan dibersihkannya badan bayi setelah lahir dan dipotong
pusarnya, ari-ari tersebut sudah tidak berguna lagi, tetapi adat/tradisi dan
budaya di Nusantara menganggap dan mengambil ari-ari tersebut dengan sangat
terhormat, sehingga ari-ari tersebut dikubur pada tanah secukupnya baik itu
ari-ari pembungkus bayi ataupun ari-ari yang sambung dengan tali pusar. Setelah
penanaman ari-ari bayi ini selesai, biasanya di atasnya diberi semacam damar,
lilin/lentera sebagai penerangan dan ditaburi tiga macam bunga (kembang telon)
kemudian disirami dengan air bunga atau memberikan wangi-wangian/kemenyan dan
lain-lain, dan ditutup dengan kendi atau kuali.
Dalam
konteks sosial dan tradisi budaya yang semacam ini, bagaimanakah pandangan
Ulama’ mengenai hukum adat tradisi menanam ari-ari dan budaya-budaya yang
menyertainya penanaman ari-ari tersebut ?
Hukum menanam ari-ari adalah sunnah,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Asnal Mathalib Syarah Raudhatu Thalib:
Disunnahkan mengubur sesuatu
(anggota badan) yang terpisah dari orang yang masih hidup atau yang masih
diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, gumpalan darah,
darah akibat goresan dan suatu barang lain yang serupa, demi menghormati
pemiliknya. (Asna al-Mathalib Fii Syarkhi Raudhah Al-Thalib bab
al-Shalatu ‘Ala al-Mayyit juz 1 hal. 313)
Sedangkan
hukum dari budaya yang menyertainya seperti menaburkan bunga di atasnya,
memberikan wangi-wangian/kemenyan, menyalakan lampu, damar atau lilin
dan menutup dengan kendi atau kuali dan lain-lain, adalah sebagai berikut:
Maksud tabdzir atau mubadzir adalah
menasarufkan harta di luar kewajarannya, yakni segala sesuatu yang tidak ada
gunanya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga mencakup segala hal
yang diharamkan maupun yang dimakruhkan. (Al-Bajuri
‘alaa Fathu al-Mu’in Fii Ta’rifi al-Tabdzir)
Nusantara
memang kaya dengan tradisi, selain tradisi adzan dan iqomah di atas, di
Nusantara terutama di Jawa juga terdapat tradisi yang dinamakan ”Ceta’an/nyeta’i”
yaitu sebuah tradisi pemberian suapan pertama pada seorang bayi yang baru lahir
dan do’a berkah pada Sang bayi. Apakah tradisi semacam ini, juga dibenarkan
oleh agama?
Dalam hal
ini, Ulama’ membenarkan adanya tradisi ceta’an tersebut dengan berpedoman
pada hadits yang diriwayatkan dari Sayyidatina ’Aisyah ra. dan juga hadits yang
diriwayatkan dari Asma’ binti Abi bakar yang menerangkan tentang haliyah
keseharian Rasulullah ketika bertepatan dengan adanya kelahiran seorang bayi
yang baru lahir, Beliau melaksanakan ceta’an dan berdo’a keberkahan. Hal ini,
diterangkan pada Kitab Al-Ahkam Al-Nawawi, yang diambil dari Kitab Shahih
Bukhari-Muslim.
Dari Sayyidatina ’Aisyah ra. Beliau
berkata: Rasulullah Saw. sering kedatangan anak-anak bayi yang baru lahir,
Beliau langsung mendo’akan dan melaksanakan ceta’an (pada mulut) mereka”. Dan
dalam satu riwayat, maka Rasulullah Saw. mendo’akan keberkahan untuk mereka
(bayi). (Al-Ahkam Al-Nawawi, hal. 244).
Dari Sayyidatina Asma’ binti Abi
Bakar, Beliau berkata: Pada saat saya hamil putranya Abdullah bin Zubair di
Makah, suatu waktu kami pergi ke Madinah, berhubung saya menyempurnakan shalat,
sesampai di Madinah saya berhenti di masjid Quba’ (untuk menunaikan shalat),
mendadak saya melahirkan di masjid. Maka seraya saya datang sowan ke Rasulullah
Saw. Maka Rasulullah membopong/menaruh Si Kecil dipangkuannya, kemudian beliau
meminta tamar (kurma) dan mengunyahnya, lalu disuapkan pada mulut bayiku, maka
makanan yang pertama kali masuk kemulud bayiku adalah ludah Rasulullah Saw.
Kemudian Rasul menceta’i bayiku dengan kurma tersebut, kemudian Beliau berdo’a
berkah untuknya. Dan putra Abdullah bin Zubair adalah bayi yang terlahir
pertama kali di masa Islam. (Shahih Muslim bab Istihbab Tahniki
al-Maulud)
Setelah masa
kelahiran anak yaitu setelah umur tujuh hari, di Nusantara ada tradisi yang
namanya ‘aqiqoh yaitu upacara pemotongan rambut bayi yang baru lahir
dengan menyembelih kambing, sekaligus memberikan nama pada bayi yang baru lahir
(Walimatut Tasmiyah).
Upacara aqiqah biasanya sebelumnya diiringi dengan acara ritual yaitu pembacaan surat
Yasiin dan berzanjen (maulidin Nabi) pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi,
pada saat mahalul qiyam (maqom) diadakan upacara pemotongan rambut pertama pada
bayi. Tradisi ini biasanya dirangkai dengan acara tasyakuran keluarga,
mengundang sanak famili, kerabat dan tetangga. Bagaimanakah fatwa Ulama’ dalam
menyikapi hukum pada tradisi tersebut?
Dalam hal
ini, Ulama’ berpendapat bahwa ‘aqiqah dilaksanakan karena setiap anak (ketika
lahir) itu masih tergadaikan dengan aqiqohnya, untuk menebus/membebaskannya
maka harus dengan menyembelihkan (hewan kambing) pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya. Pendapat ini berpedoman pada hadits yang diriwayatkan Samroh Ibnu
Jundab ra.
Hadits diriwayatkan dari Samroh ibnu
Jundab ra. menyatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: ”Setiap anak itu
masih tergadaikan dengan aqiqohnya, disembelihkan (hewan kambing) pada hari
ketujuh dari hari kelahirannya adalah sebagai pembebasannya, dilanjutkan
pelaksanakan pencukuran rambut dan pemberian nama”. (Sunan Abi
Dawud bab Fii al-Aqiqoh)
Melaksanakan
aqiqoh dihukumi sunnah, sebagaimana di jelaskan dalam kitab
al-Muqoddimah al-Khadlramiyah Fashlun Fi al-Aqiqoh, adapun waktu pelaksanaannya
adalah mulai bayi dilahirkan sampai dia baligh (ketika sudah baligh, maka dia
mengaqiqahi dirinya sendiri, bukan orang tuannya).
Dan waktu
yang paling utama untuk aqiqah adalah pada hari ke-7 dari kelahiran bayi,
apabila belum mampu pada hari ke-7 maka diaqiqohi pada hari ke-14 atau hari
ke-21;
Adapun hewan ‘aqiqah yang disembelih
sunnahnya adalah:
a. 2 ekor
kambing untuk bayi laki-laki.
b. ekor kambing
untuk bayi perempuan
Sebagaimana keterangan di bawah ini:
Dan yang paling utama dalam aqiqah,
menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi
bayi perempuan, berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan Siti ‘aisyah ra.
“Bahwa Rasulullah Saw. memerintahkanku menyembelih dua ekor kambing bagi bayi
laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan. (Hasyiyah
I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 381).
D. Hukum Khitan.
Para ulama’
berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi anak laki-laki dan perempuan,
sebagaimana keterangan berikut ini:
Sebagaimana diterangkan dalam Kitab
I’anatut Thalibin:
Dan dihukumi wajib untuk
melaksanakan khitan bagi anak perempuan dan anak laki-laki yang sekiranya
sebelum dilahirkan sudah dalam kondisi dikhitan. Kewajiban pelaksanaan khitan
ini berdasarkan atas Firman Allah Swt: “Ikutilah ajaran Nabi Ibrahim”. Dan
diantara ajaran Nabi Ibrahim adalah khitan, nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80
tahun. Dan pendapat lain mengatakan pelaksanaan khitan dihukumi wajib bagi anak
laki-laki dan dihukumi sunnah bagi anak perempuan. Sebagaimana pendapat
mayoritas Ulama’”. (I’anah Al- Thalibin, Juz 4 hal. 173)
E. Adat
Walimatul Khitan.
Adat atau
tradisi walimatul khitan/Sunatan di wilayah Nusantara sudah berlaku sejak nenek
moyang sampai sekarang ini. Pelaksanaan Sunatan ini, sering dimaknai sebagai
masa awal seorang anak untuk mengenal apa yang disebut dewasa. Sedang
pelaksanaan khitanan ini di berbagai daerah beragam, ada yang melaksanakan pada
hari ke tujuh hari kelahiran, ada yang pada hari ke empat puluhnya, namun
rata-rata adalah ketika Si anak berumur 7 sampai 9 tahun.
Dan dalam
hal ini, banyak sekali model dan tradisi yang berkembang di masyarakat tentang
pelaksanaan Walimatul Khitan ini. Yang menjadi persoalan, Apakah ada dasar
hukumnya menjalankan tradisi Walimatul Khitan/tasyakuran sunatan tersebut?.
Dalam konteks ini, ulama’
berpendapat;
Dan dhahir dari perkataan para
ulama’ di dalam walimah, sesungguhnya meramaikannya adalah sunnah bagi
laki-laki dan perempuan, kecuali apa yang dikatakan para ulama’ tidak menuntut
hukum kesunnahan walimah khitan untuk meramaikannya bagi wanita. (Hasyiyah
‘Ianah al-Thalibin juz 4 hal 175)
BAB II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN.
Walimah
berarti penyajian makanan untuk acara pesta. Ada juga yang mengatakan, walimah
berarti segala macam makanan yang dihidangkan untuk acara pesta atau lainnya.
Dengan kata lain walimah juga dikenal dengan istilah syukuran atau selamatan.
Walimah
merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadist riwayat Anas bin
Malik, bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wassalam pernah berkata kepada Abdurrahman
bin Auf:
"Adakan
walimah, meski hanya dengan dengan satu kambing." (Muttafaqun Alaih).
Dan waktu
yang paling utama untuk aqiqah adalah pada hari ke-7 dari kelahiran bayi,
apabila belum mampu pada hari ke-7 maka diaqiqohi pada hari ke-14 atau hari
ke-21;
Adapun hewan ‘aqiqah yang disembelih
sunnahnya adalah:
a. 2 ekor
kambing untuk bayi laki-laki.
b. ekor kambing
untuk bayi perempuan
Sebagaimana keterangan di bawah ini:
Dan yang paling utama dalam aqiqah,
menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagci bayi perempuan, berdasarkan hadits nabi yang
diriwayatkan Siti ‘aisyah ra. “Bahwa Rasulullah Saw. memerintahkanku
menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi
bayi perempuan. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 381).
DAFTAR REFERENSI
1.
Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Fiqh
Wanita Edisi Lengkap, Pustaka Al-Kautsar, Oktober 2011
2.
Majalah As-Sunnah Edisi Khusus
/Tahun VIII/1427H/2006M.
3. http://pinkngalah.wordpress.com/2011/02/11/bab-v-sosial-%E2%80%93-budaya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar