Halaman

Rabu, 25 September 2013

GANGGUAN STRES PASCA~TRAUMA

Makalah Psikologi Abnormal

GANGGUAN STRES PASCA~TRAUMA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH KELOMPOK 3:

Muhammad Fajri : 421006007


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS DAKWAH / JURUSAN BPI
BANDA ACEH
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
peristiwa yang dapat menyebabkan trauma psikologis misalnya peristiwa yang sangat menakutkan, mengancam jiwa, kecelakaan, perang, bencana alam, KDRT, child abuse, pemerkosaan, didiagnosis menderita penyakit yang menakutkan, dan peristiwa lainnya yang sulit diterima secara psikologis oleh penderita. Walaupun demikian, peristiwa tersebut tidaklah harus terjadi pada diri penderita, mungkin saja terjadi pada kerabat atau orang lain, namun penderita menyaksikan atau dapat merasakan hal tersebut.
Penderita gangguan stres pascatrauma biasanya akan mudah teringat atau bermimpi akan peristiwa yang tidak mengenakkan tersebut.  Hal ini menyebabkan penderita cenderung untuk menghindari dan menjauhi lokasi, orang, ingatan, atau hal lain yang akan mengingatkannya akan pengalaman mengerikan tersebut. Keadaan lain  yang dapat menyertai misalnya gangguan tidur, sulit konsentrasi, gangguan emosi, gelisah, gangguan dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari dan sosial, bahkan bunuh diri.
Gangguan ini tidak terjadi pada semua orang yang mengalami trauma psikologis. Hampir semua orang pernah mengalami trauma psikologis selama hidupnya, namun hanya sekitar 8% yang mengalami gangguan stres pascatrauma ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor risiko, yaitu faktor genetik, keparahan trauma psikologis, broken home, depresi, dan usia anak-anak.

B.     Tujuan
Agar kita semua mengetahui apa itu gangguan stress pasca~trauma, bagaimana gejalanya, dan cara menangani atau terapi apa yang akan dilakukan kepada yang mengalami gangguan stress pasca~trauma.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian.
Secara sederhana, Pulih & ICMC, (Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan Ar-raniry press Darussalam banda aceh, 2007) mendefinisikan stress sebagai “ suatu keadaan di mana individu terganggu keseimbangannya. Stress terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu untuk berespon secara sesuai.
Trauma Menurut Chaplin, (Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan Ar-raniry press Darussalam banda aceh, 2007), trauma berarti “ suatu luka, baik yang bersifat fisik atau jasmani maupun psikis”. Luka itu terjadi akibat suatu peristiwa yang sangat mengguncangkan dan terjadi secara tiba-tiba.

Gangguan stres pascatrauma (Postraumatic stress disorder/PTSD) adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan cemas setelah terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan trauma psikologis.
PTSD adalah paparan terhadap kejadian traumatik dimana saat itu orang merasa ketakutan, ketakberdayaan, atau kengerian. Selain itu korban merasa mengalami kembali keadaan tersebut melalui kenangan dan mimpi buruk. Gangguan emosional yang menyebabkan distres, yang bersifat menetap, yang terjadi setelah menghadapi ancaman keadaan yang membuat individu merasa benar-benar tidak berdaya atau ketakutan. Korban merasa kembali trauma itu, menghindari stimulus yang terkait dengannya, dan mengembangkan sikap mematirasakan responsivitasnya dan memiliki tingkat kewaspadaan dan arousal yang meningkat.
PTSD tidak dapat diagnosiskan sampai paling tidak satu bulan setelah kejadian traumatic tersebut. Gangguan baru yang dinamakan acute stress disorder (gangguan stress akut) Gangguan ini benar-benar memiliki gejala PTSD yang terjadi pada bulan pertama setelah trauma, tetapi nama yang berbeda tersebut ditekankan adanya reaksi yang sangat berat yang dialami orang setalah trauma terjadi. Gejala-gejalanya seperti gejala-gejala PTSD tetapi disertai dengan gejala-gejala disosiatif berat seperti amnesia, mati rasa emosional, dan derealisasi atau perasaan tidak riil.

B.     Jeni-jenis PTSD.
a.       PTSD akut.
PTSD akut dapat didiagnosiskan dalam waktu satu sampai tiga bulan setelah kejadian. Dalam PTSD yang onsetnya tertunda, individu tidak menunjukkan, atau kalaupun ada hanya sedikit, gejala-gejala segera setelah kejadian traumatik itu terjadi. Tetapi kelak, beberapa tahun yang akan dating, mereka mengembangkan PTSD secara penuh. Belum jelas mengapa onsetnya tertunda pada sebagian individu.
b. PTSD kronis.
PTSD kronis merupakan lanjutan dari PTSD akut, individu yang mengalami PTSD lebih dari tiga bulan maka dianggap kronis. PTSD kronis biasanya berhubungan dengan tingkah laku menghindar yang lebih menonjol dan lebih sering disertai oleh diagnosis-diagnosis lain, seperti fobia sosial.
C.    Kriteria Gangguan Stres Pasca~Trauma.

1)      Terpapar kejadian traumatic, diamana orang mengalami,  menyaksikan, atau dihadapkan pada situasi yang melibatkan kematian, ancaman kematian, atau cedera yang serius, yang dalam responnya terhadap kejadian tersebut orang bereaksi dengan ketakutan yang instens, perasaan yang tidak berdaya, atau kengerian.
2)      Kejadian traumatic itu secara persisten dialami kembali dengan salah satu cara (atau lebih) berikut ini :
a)      Ingatan yang menimbulkan distress yang terjadi berulang-ulang dan persisten, temasuk ingatan tentang berbagai gambaran, pikiran, atau persepsi.
b)      Mimpi tentang kejadian traumatic yang menimbulkan distress dan terjadi berulang-ulang.
c)      Adanya perasaan bahwa kejadian traumatic itu berulang lagi, termasuk ilusi, halusinasi, dan kilas balik disositif.
d)     Reaksi fisiologis terhadap stimulus-stimulus yang mengingatkan pada kejadian tersebut.
3)      Perilaku menghindar yang persisten terhadap stimuli yang berhubungan dengan trauma, dan pematirasaan responsivitas  secara umum.
4)      Gejala arousal yang meningkat, bersifat persiten. Seperti sulit tidur, iritabilitas dan kewaspadaan yang terlalu berlebihan.
5)      Stress atau hendaya yang signifikan secara klinis dibidang social, pekerjaan, atau bidang-bidang fungsi lainnya.
6)      Lamanya gangguan berlangsung lebih dari satu bulan.

D.    Penyebab PTSD.
PTSD meupakan gangguan dimana seseorang mengalami trauma secara pribadi kemudian mengembangkan gangguan. Tetapi, apakah seseorang kemudian mengembangkan PTSD atau tidak ternyata merupakan isu yang bukan main kompleksnya, isu ini melibatkan factor-faktor biologis, psikologis dan social.
Seperti gangguan lainnya, kerentanan biologis dan psikologis menyeluruh tertentu. Semakin tinggi kerentanan itu, semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengembangkan PTSD. Bila cirri-ciri tersebut terdapat pada keluarga kita , maka kita memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan gangguan tersebut. Sejarah kecemasan keluarga menunjukkan adanya ketetanan biologis menyeluruh untuk PTSD.
Kepribadian, ciri-ciri seperti cenderung menjadi cemas dan yang lainnya merupakan bagian diantaranya bersifat keturunan, paling tidak secara persial, dapat mempedisposisikan seseorang untuk mengalami trauma dengan membuat orang itu berkemungkinan berada dalam situasi-situasidimana trauma cendeung terjadi.
Ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya PTSD, yaitu :
1.      Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :
a.       Pertempuran, perang sipil.
b.      Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan emosional.
c.       Penyiksaan.
d.      Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga.
e.       Terorisme, Peristiwa ledakan bom, menyaksikan pembunuhan, ancaman.
f.       Bunuh diri atau bentuk lain dari kematian mendadak.
g.      Kerusakan atau kehilangan bagian tubuh.
2.      Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a.       Kebakaran, Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam.
b.      Bencana nuklir, runtuhnya bangunan, dan kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh.
3.      Faktor bencana alam.
a.       Gempa bumi, tsunami, banjir.
b.      Tornado, angin topan, dan longsor.

E.     Etiologi PTSD.

1.      Etiologi Psikoanalisis.
Bisa disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata lain, ada konflik – konflik tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke syaraf kesadaran.
2.      Etiologi Kognitif.
Adanya cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, bisa meliputi beberapa hal seperti : prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self – defeating atau irasional, sensitiviras berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh,serta self – efficacy yang rendah.
3.      Etiologi berdasarkan pendekatan behavioral.
Etiologi terjadinya PTSD dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan behavioral dengan kerangka pikir conditioning. Dalam perspektif classical Conditioning, pengalaman traumatis berfungsi sebagai stimulus tak terkondisi yang dipasangkan dengan stimulus netral seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang diasosiasikan dengan gambaran trauma. Pemaparan terhadap stimuli yang sama atau hampir sama memunculkan kecemasan yang diasosiasikan dengan PTSD.
F.     Terapi PTSD.

1.      Terapi behavioral lewat proses khusus yang melibatkan pengandaian mental dari peristiwa yang memicu traumatik atau membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksi  mendalam dan disandingkan dengan terapi relaksasi. Tehnik yang digunakan adalah desentisisasi  sistematus yaitu tehnik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang negative dan menyertakan respon yang berlawanan dengan prilaku yang akan dihilangkan. Stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Dengan teknik ini, penderita akan menanggulangi rasa takutnya pada pemicu trauma.
2.      Terapi kognitif untuk menghadapi efek peristiwa penyebab trauma. Terapi dengan cara si penderita bercerita bisa membantu penderita mengurangi kenangan buruk masa silam.
3.      Terapi psikoanalisis dengan memaparkan kembali penderita terhadap peristiwa traumatik namun dengan lingkungan yang lebih mendukung. Dengan terapi ini, penderita akan memahami perasaan sadar dan tak sadar terhadap peristiwa yang mempengaruhinya tersebut dan belajar menerima kondisi.
4.      Terapi medis dengan pemberian obat penenang atau obat anti depresann dapat membantu untuk mengobati gangguan-gangguan kecemasan lainnya. Namun masalah potensial dengan terapi obat adalah bahwa pasien kemungkian menganggap perbaikan klinis yang terajadi disebabkan oleh obat dan bukan karena mereka sendiri. Obat tidak mampe memberikan efek kesembuhan secara total karena terapi obat hanya mengobati gejal bukan inti dari masalah trauma itu sendiri.

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Gangguan stres pascatrauma (Postraumatic stress disorder/PTSD) adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan cemas setelah terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan trauma psikologis.
Jeni-jenis PTSD : PTSD akut dan PTSD kronis.
Kriteria Gangguan Stres Pasca~Trauma.
·   Terpapar kejadian traumatic.
·   Kejadian traumatic itu secara persisten dialami kembali dengan salah satu cara (atau lebih).
·   Perilaku menghindar yang persisten terhadap stimuli yang berhubungan dengan trauma, dan pematirasaan responsivitas  secara umum.
Penyebab PTSD meupakan gangguan dimana seseorang mengalami trauma secara pribadi kemudian mengembangkan gangguan. Tetapi, apakah seseorang kemudian mengembangkan PTSD atau tidak ternyata merupakan isu yang bukan main kompleksnya, isu ini melibatkan factor-faktor biologis, psikologis dan social.
Ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya PTSD, yaitu :
1.      Faktor kesengajaan manusia.
2.      Faktor ketidaksengajaan manusia.
3.      Faktor bencana alam.
Etiologi PTSD.
1.      Etiologi Psikoanalisis.
2.      Etiologi Kognitif.
3.      Etiologi berdasarkan pendekatan behavioral.
Terapi PTSD.
1.      Terapi behavioral.
2.      Terapi kognitif.
3.      Terapi psikoanalisis.
4.      Terapi medis.


















DAFTR PUSTAKA

·         Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan, Ar-raniry Press; Darussalam Banda Aceh, 2007.
·         V.Mark Durand dan David H. Barlow, Intisari Psikologi Abnormal, Yogyakarta; PT. Pelajar,Cetakan 1, Desember 2006.
·         Gerald C. Davison, John M. Neale, Ann M. Kring, Psikologi Abnormal (Edisi ke-9) ; penerjemah, Mormalasari Fajar.-Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada, 2006.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar