Halaman

Kamis, 07 Juni 2012

Raja Ubiet Raja Keumala - Tangse - Pidie


Raja Ubiet Baru Tahu Indonesia Merdeka Tahun 1980-an

Raja Ubiet adalah Raja Keumala di Tangse, Kabupaten Pidie yang pernah membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.


Raja Ubiet lengkap dengan pakaian hitamnya

Saat ini, ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidie Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam.

Warga yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung Kong.

“Mereka turunan kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59 tahun, akhir pekan lalu.

Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.

Ironisnya, kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.

Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.

Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat. Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh pakaian yang menyerupai penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.

Tidak boleh memakai topi juga tanpa alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini, kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.

Dia bilang, kaum perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan Cut Nyak Dhien, pahlawan nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.

Ia pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.

Begitu juga, terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.

Kebencian terhadap penjajah itulah, ujar Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai ‘kafir’. Lagipula, ujar Nazar, hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.

Selain itu, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.

Tak pelak lagi, ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan belantara, karena ketakutan tadi, lanjutnya.

Diungkapkan Wagub, Teuku Raja Keumala , baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika diundang Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga ketika mengunjungi Wagup, ucapnya.

Muhammad Nazar menuturkan, pemerintah Aceh akan membantu kembali atau melanjutkan bantuan yang pernah dijanjikan untuk membangun rumah juga bantuan lainnya. hanya saja, pengembang sebelum ini, nakal, sehingga pembangunan rumah bantuan menjadi terlantar.

“Saya mengundang Teuku Raja Keumala, kemari, meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga yang lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti yang lalu-lalu,” tukasnya.

Setelah berbicara panjang lebar dengan Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala, mau membelikan sepatu atau sandhttp://www.blogger.com/img/blank.gifal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku Raja Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan dilepas kembali.

Ketika disinggung senjata yang masih mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu juga rencong.

Sedangkan pistol Aceh, telah diserahkan kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal, kata Wagub, pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat disayangkan senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.

Sejarah Aceh Kian Langka Pendanaan


Sejarah Aceh Kian Langka Pendanaan




12970122111021049804
Salah satu kuburan peninggalan zaman di areal tambak ikan kampung Pande, Kutaradja, Banda Aceh/Foto: Muhammad Hamzah
SEJARAH yang menjadi bukti setiap kisah-kisah yang terdahulu, memang sungguh berarti. Bukan saja untuk mereka yang ingin mengetahui sejarah saja, melainkan juga sebagai warisan bagi anak cucu nantinya.
Akhirnya semalam, setelah membuka lembaran-lembaran halaman di Facebook, saya menemukan sebuah page CISAH (Central Information for Samudra Pasai Heritage,Pusat Informasi Warisan Budaya Samudra Pasai).
Setelah saya baca dan komentari disalah satu forum, ternyata mereka adalah forum pencinta sejarah, namun yang menarik dari mereka, yakni mencari berbagai jejak sejarah, terlebih makam-makam (nisan-nisan) jaman dahulu yang pernah ada di Aceh, yang difokuskan saat ini yang berada di kawasan Samudra Pasai, Aceh Utara dan sekitarnya.
Tidak berapa lama saya pun mendapat friends request dari halaman Facebook, dan ternyata beliau adalah salah satu pengurus dari komunitas tersebut, dan sekarang berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Akhirnya menyempatkan diri sejenak untuk menyapa dan berdiskusi via chat, ternyata beliau ini malah tertarik saat melihat foto profile Facebook saya yang ada benda yang tak langka lagi, apalagi kalau bukan batu nisan jaman dulu yang bertuliskan huruf Arab. Kebetulan foto itu pun saya dapat mengabadikannya saat melakukan ekspedisi bersama rekan blogger Aceh ke sebuah waduk di bilangan Aceh Besar, masyarakat setempat mengenal sebutan tempat itu dengan Waduk Keuliling.
Makam di Waduk Keuliling
Makam yang berada di atas bukit bersebelahan dengan mushalla yang berlokasi di Waduk Keuliling, Aceh Besar/Foto: Dok. Pribadi
Situs Sejarah Terancam Hilang
Saya pun akhirnya mendapat satu pertanyaan dari beliau, apakah mengenal sosok pria yang bernama Tgk. Taqiyuddin Muhammad?, spontan saya menjawab tidak mengenalnya dan kemungkinan besar saya pernah melihat, karena toh kebetulan Tgk. Taqiyuddin adalah warga Matangglumpangdua, Kecamatan Peusangan.
Ada hal yang miris ternyata, setelah saya berdiskusi dengan rakan pengurus dari CISAH ini, tak lain adalah masalah pendanaan untuk menjaga kelestarian berbagai situs sejarah yang ditemukan oleh berbagai kalangan, baik itu dari komunitas pencinta sejarah, masyarakat atau penduduk di daerah bekas situs sejarah sangat kurang sekali.
Nisan
Temuan peninggalan terkait Sejarah Kesultanan Samudra Pasai, adapun penemuan kali ini adalah makam Al-Wazir Al-Afdal, orang yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Kesultanan Samudra Pasai, makam itu berlokasi di Gampong (Desa) Teupin Ara, Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh/Foto: CISAH
Hal ini pula yang membuat mereka terkendala, dari berbagi situs sejarah yang ditemukan dipelosok-pelosok desa atau kampung memang sangat terlihat tidak terurus dan terbengkala. Tidak sedikit batu-batu nisan jaman dulu menjadi batu yang sarat tidak berguna, seperti tampak pada foto paling atas, Gampong Pande, Banda Aceh.
Sampai saat ini, mereka yang tergabung di CISAH dan komunitas pecinta sejarah Aceh lainnya juga bekerja secara sukarela, membangun donasi dari kantong sendiri, dan kadang mencari donator yang setia untuk membantu kelestarian situs sejarah tersebut.
Memang patut disayangkan, masalah dana yang kadang sangat berlimpah di Aceh tidak “terwariskan” untuk situs-situs sejarah yang sangat langka untuk digali dan ditemukan, berbagai dinas yang terkait dengan sektor budaya dan pariwisata juga enggan mengomentari hal tersebut, baik dari tingkat kabupaten sampai provinsi, namun dari hasil saya diskusi dengan pengurus CISAH tersebut, sempat menyinggung juga tentang aliran dana dari Pemerintah Pusat, Jakarta yang juga “enggan berbicara” terhadap masalah ini.wallahu’alam
Terlepas dari masalah dana atau iming-iming uang untuk masalah tersebut, tentu pelestarian situs sejarah adalah bagian dari tanggung jawab semua masyarakat, melindungi, menjaga, dan yang paling penting, yakni menggali keberadaan dari setiap lokasi yang kemungkinan besar banyak menyimpan situs sejarah.
Cukup banyak batu-batu nisan jaman dulu di Aceh, dan paling banyak juga orang yang tidak mengetahui akan hal tersebut. Terlepas dari sikap skiptis atau lainnya, peran semua warga untuk menjaga adalah tanggung jawab bersama, disaat pemerintah “angkat tangan” memang ujung-ujung adalah masyarakat yang harus merawatnya.
Salah satu misi yang diperjuangkan oleh berbagai komunitas atau forum pecinta sejarah Aceh untuk tempat-tempat sejarah yang belum terekspos, bukan lain adalah pemugaran yang bisa dirawat dan menjadi identitas bahwa sejarah tidak akan hilang begitu saja untuk generasi selanjutnya. Namun, jika hal itu yang kecil terabaikan, sungguh mungkin paraendatu terdahulu yang telah meninggalkan sejarah, menangisi keadaan yang telah terlupakan oleh cucu-cucunya bahkan cicitnya nanti.

kebudayaan aceh


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
1.2  Tujuan Pembuatan Makalah
Di dalam penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang kami jabarkan, diantaranya adalah:
  1. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Psikologi Lintas Budaya
  2. Dari hasil diatas kami ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang Aceh dan budayanya
  3. Untuk membantu para mahasiswa memahami kebudayaan Aceh
1.3  Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, kami menggunakan metode pengambilan data secara sekunder, yaitu pengambilan data secara tidak langsung melalui informasi yang sudah ada seperti internet.
BAB II
PENGENALAN DAN SEJARAH ACEH
2.1  Pengenalan Wilayah Aceh
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.
A.    Sejarah Aceh
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 denganBritania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

1.      Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
2.        Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.

3.    Bahasa

Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
4.      Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
B.     Sejarah dan Pengenalan Kebudayaan Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan/kenduri. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat delapan sub suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Simeulu, Kluet, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis mempunyai budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Suku Gayo dan Alas merupakan suku yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
C.    Hakekat sistem budaya Aceh adalah Agama Islam
Syariat Islam adalah Berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Sumber: Al-Qur’an (sumber hukum Islam yang pertama), Hadis (seluruh perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad yang kemudian dijadikan sumber hukum), Ijtihad (untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis).
Oleh sebab itu segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.
D.    Sistem Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak yang belum menikah. Namun bagi anak laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga.
E.     Kesenian
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
F.     Asimilasi dalam Budaya Aceh
Setiap bangsa mempunyai corak kebudayaan masing-masing. Kekhasan budaya yang dimiliki suatu daerah merupakan cerminan identitas daerah tersebut. Aceh memiliki banyak corak budaya yang khas.
Kebudayaan juga merupakan warisan sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat yang mendukungnya. Prof Dr H Aboebakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menulis bahwa pada awalnya adat dan budaya Aceh sangat kental dengan pengaruh Hindu. Ia merujuk pada beberapa buku sebelumnya yang pernah ditulis oleh ahli ketimuran.
Hal itu terjadi karena sebelum Islam masuk ke Aceh, kehidupan masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh unsur hindu. Setelah Islam masuk unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan Islam dihilangkan, namum tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap dipertahankan.
Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat dan budaya Aceh sebagaimana yang berlaku sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam hadih maja disebutkan, “Mate aneuék meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Ungkapan ini bukan hanya sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan yang berisi penegasan tentang pentingnya melestarikan adat dan budaya sebagai pranata sosial dalam hidup bermayarakat.
Adat dan kebudayaan juga mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat yang merupakan hukum pelengkat dari hukum yang berlaku secara umum (hukum positif). Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan ketentuan adat.
Aceh memiliki kekhasan tersendiri dalam hukum adat dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada semenjak zaman kerajaan. Hukum adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam, sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri. Seperti tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn adat lagèë zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua.
G.    Pola Hidup & Golongan Masyarakat Aceh
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Sedangkan Golongan Masyarakat aceh, pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
BAB III
FENOMENA PERUBAHAN KEBUDAYAAN DI ACEH
Fenomena 1:
Budaya Aceh Mulai Bergeser Pasca Tsunami
Ridwan Sjah (22/02/2005 – 08:09 WIB)

Jurnalnet.com Jurnalnet.com (Banda Aceh):
Budaya Aceh yang tidak terlepas dari budaya Islam Aceh sejak Kerajaan Samudera Pasai, yang sempat menjadi pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, kini sedikit demi sedikit mulai bergeser pasca-gempa bumi diikuti tsunami yang meluluh lantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan menewaskan lebih 200.000 jiwa manusia pada 26 Desember 2004. Pergeseran budaya itu, antara lain terlihat di bidang akhlak berpakaian bagi muslimat. Wanita Islam wajib memakai busana yang menutup aurat lengkap dengan jilbab yang menutup kepala hingga di bawah bahunya.
Kalau sebelum bencana itu, masyarakat Aceh tabu melihat wanita berjalan tanpa jilbab yang menutupi kepala hingga ke bahunya, maka pasca-tsunami tampak sudah tidak menjadi tabu lagi. Tak ada orang yang menegur, tak ada orang lagi yang peduli.
Muslimat banyak terlihat santai berjalan menelusuri jalan-jalan tanpa memakai jilbab, padahal sebelumnya mereka tampak selalu memakai jilbab di propinsi yang berhukum Syariat Islam sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.

Wanita muslimat pasca-musibah alam itu sudah berani duduk berboncengan di atas sepeda motor yang dikenderai seorang pria yang bukan muhrim tanpa memakai jilbab, seperti yang setiap hari kini tampak di jalan-jalan di ibukota Banda Aceh.
Terlihat sepeda motor dinaiki tiga orang, seorang pria yang mengenderainya dengan dua wanita duduk di belakang. Para wanita itu tidak berjilbab, bahkan kulit punggung dan celana dalamnya terlihat, seperti busana yang kini banyak dipakai kaum perempuan muda Indonesia masa kini. Padahal, hal itu dulu tidak pernah dijumpai di negeri yang menjalankan Syariat Islam itu.

Sewaktu Syariat Islam dicanangkan untuk diterapkan di negeri yang terkenal dengan sebutan Serambi Makkah itu, wanita-wanita muslimat serentak menyambut dengan memakai busana muslimat dengan jilbabnya. Nanggroe (negeri) Aceh Darussalam (wilayah keselamatan) merupakan satu-satunya daerah yang istimewa, karena pemerintah mengesahkan daerah itu sebagai daerah yang dapat menjalankan Syariat Islam, dan masyarakat Aceh yang merindukan syariat tersebut menyambut pelaksanaannya.
Tetapi, budaya memakai jilbab itu mulai meluntur, terutama pasca-tsunami yang menghancurkan 15 dari 21 kota di Aceh dan memusnahkan hampir semua rumah penduduknya. Banyak anak menjadi yatim piatu, tak memiliki ayah dan ibu, atau memiliki ayah tak memiliki ibu dan sebaliknya, sanak keluarganya pun mati atau hilang ditelan tsunami.
Kata H.Abdullah, salah seorang tokoh di Aceh, “Kalau non-muslim dapat dimengerti, tetapi justru banyak wanita muslimat mulai menanggalkan jilbab, tidak seperti dulu sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami dahsyat yang telah menewaskan dan menghilangkan lebih 200 ribu jiwa manusia di Aceh,” Rupanya bencana alam yang paling dahsyat terjadi di Indonesia itu tidak membuat orang menjadi takut dan jera, malah kaum wanita kini makin nekat, katanya.
Di restoran-restoran dan toko-toko di Banda Aceh, banyak wanita-wanita muslimat tidak memakai jilbab. Mereka duduk bercengkrama, bersenda gurau seolah-olah tak pernah terjadi bencana alam dahsyat di daerahnya.
Imam Masjid Babussalam di Lampaseh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Basri, menyatakan pula keprihatinannya, karena tidak bisa lagi menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, kawasan yang sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terkenal kuat memegang prinsip-prinsip Syariat Islam. “Kita ingin melaksanakan Syariat Islam, tetapi di pihak lain keadaan tak mendukung pelaksanaan syariat itu,” keluh teuku itu.
Ia mengakui banyak kemaksiatan terjadi di Aceh dan bencana alam itu merupakan suatu peringatan bagi masyarakat Aceh khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya dan ini hendaknya menjadi cambuk bagi manusia, agar menjalankan Syariat Islam dengan sungguh-sungguh. “Ini adalah murka Allah, karena banyak kemaksiatan yang terjadi di bumi Aceh. Mereka tidak cinta kepada masjid, yang menjadi pusat ibadah bagi umat Islam,” katanya.
Sebagian besar wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, hancur, tetapi masjid tetap berdiri tegak, tidak terkena dari amukan dan terkaman tsunami. Hendaknya manusia itu mau tobat kepada Allah sebelum peristiwa yang sama berulang kembali. Kasih tak tampak Selain lunturnya budaya memakai jilbab bagi muslimat itu, Aceh juga dicederai dengan mulai tak tampaknya kasih sayang di kalangan masyarakat Islam di negeri itu.
Dr. H. Bukhari Daud, MEd, tokoh pendidikan di daerah tersebut, mengatakan, kini mulai tak tampak lagi ada kasih sayang di kalangan masyarakat Aceh yang muslim padahal ajaran Islam itu mengajarkan agar orang-orang Islam itu berkasih sayang. “Tak ada lagi kasih sayang di antara masyarakat. Bahkan, ada yang sampai hati dan tega memotong jari tangan dan lengan mayat wanita untuk mengambil emas di jari tangan manisnya dan tangannya,” katanya.
Ada juga orang mengambil pagar-pagar rumah yang masih bagus, lalu dirusak dan diangkut dengan mobil untuk dijual, padahal itu hak orang lain, tambahnya. Ia menyatakan, prihatin atas perbuatan-perbuatan yang buruk itu, dan meminta agar para pelakunya sadar, tidak melakukan perbuatan dosa itu.
Ia meminta, agar seluruh anak negeri (Aceh) menyadari dan mengakaui kekeliruan selama ini. “Sesalilah segala kesalahan kita sedalam-dalamnya, kemudian bertaubatlah kepada Allah dengan segala ketulusan hati.” Dia berharapkan pula, masyarakat hijrah dari kebiasaan buruk kepada yang baik.
Analisis:
Menurut kelompok kami, mengapa pasca bencana tsunami di Aceh banyak wanita yang melepas kerudung/jilbabnya, dikarenakan kekecewaan yang sulit dikontrol kepada Sang Khalik. Mereka merasa sudah menjalankan syariat agama sebagaimana mestinya, seperti shalat, mengaji, menghindari perbuatan yang dilarang agama, dan lain sebagainya, tapi tempat tinggal mereka tetap ditimpa bencana yang dahsyat. Pasca tsunami, mungkin mereka berpikir, untuk apa menjalankan syariat agama, jika akhirnya ditimpa bencana pula. Selain itu, mereka kehilangan panutan mereka semasa hidup, seperti keluarga, kerabat, dan tokoh ulama setempat yang selalu mengarahkan mereka. Ditambah lagi, budaya luar, terutama budaya barat yang masuk secara perlahan ke dalam wilayah Aceh itu sendiri, menjadikan penduduk setempat lupa akan budaya lama yang sudah lama mereka lakukan. Karena beberapa hal itu, mereka merasa tidak berdaya dan memutuskan untuk melepas penutup aurat mereka, dalam hal ini kerudung/jilbab.
 Fenomena 2:

Kisah anak punk aceh di bina polisi

December 20, 2011 – 2:26 am
Kisah Anak Punk Aceh Dibina Polisi
Ada yang mengaku sedih dan ada yang ingin berubah menjadi lebih baik.
VIVAnews – Sebanyak 65 orang anggota komunitas Punk di Banda Aceh yang ditangkap usai menggelar konser musik akhir pekan lalu, mendapatkan bimbingan di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Aceh Besar.

Ada yang mengaku sedih dan ada yang ingin berubah menjadi lebih baik saat mengikuti bimbingan yang digelar sejak Selasa 13 Desember 2011.
Mengenakan pakaian polisi, selama 10 hari mereka dilatih baris berbaris. Mereka juga mendapatkan bimbingan mental dan dilatih kedisiplinan. Saat pertama masuk kamp pelatihan, rambut mereka telah dicukur dan mereka diwajibkan mandi teratur.
M Fauzi, salah seorang pelatih dari SPN Seulawah mengatakan, selama di tempat latihan polisi itu, mereka dididik kedisiplinan dan latihan fisik untuk menjaga kebugaran. Mereka juga mendapat pelajaran dan pendalaman aqidah dengan mendatangkan ustadz dan pendeta dari luar sekolah polisi itu.
“Tadi pagi, tim dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) juga datang membimbing mereka. Ada 18 orang yang non-muslim dan kami panggil pendeta untuk membimbing mereka,” kata Fauzi, di SPN Seulawah, Aceh Besar, saat berbicang dengan VIVAnews.com, Jumat malam 16 Desember 2011.
Dari 65 orang yang ditangkap dan dididik di SPN Seulawah, 30 orang di antaranya berasal dari sejumlah daerah di Aceh seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireun, Tamiang, dan Takengon. Selebihnya berasal dari provinsi lainnya seperti Sumatera Utara, Lampung, Palembang, Jambi, Batam, Riau, Sumatera Barat, Jakarta, Bali, dan Jawa Barat.
Anggota komunitas Punk ini juga telah diperiksa kesehatannya. Tiga di antaranya dideteksi menderita gejala hepatitis. “Tiga yang gejala hepatitis dan satu orang positif. Setiap pagi kami periksa kesehatan mereka, kalau kesehatannya tidak memungkinkan, dia tidak kami perkenankan mengikuti kegiatan,” kata Fauzi.
Arismunadar,15 tahun, salah seorang anak punk yang juga mengikuti pelatihan itu mengaku sedih karena sejak ditangkap dia tidak bisa bersekolah. Arismunandar berasal dari Medan, Sumatera Utara dan datang ke Banda Aceh untuk berpartisipasi dalam konser amal yang digelar Punkers Aceh.
Saat berangkat ke Banda Aceh, dia juga meminta izin orang tuanya. Tetapi sejak ditangkap, dia tidak dapat mengabarkan kondisinya kepada orang tuanya karena handphone-nya disita sementara selama proses pembinaan.
“Saya tidak tahu bagaimana reaksi orang tua kalau tahu saya dibawa ke sini, saya mau menghubungi orang tua. Tapi, bagaimana caranya sebab handphone saya diambil,” katanya.
Anggota Punk lainnya, Sarah, 18 tahun, selama mengikuti pelatihan mengaku dirinya mendapat banyak pengetahuan tentang kedisiplinan dan agama. Dara asal Kabupaten Bireun ini mengaku memilih bergabung dalam komunitas punk karena kurang mendapatkan kasih sayang orang tuanya.
“Setelah dari sini saya mau sekolah lagi, saya ingin berubah dan menjadi lebih baik,” ujarnya. (Laporan: Riza Nasser | Aceh, art)
• sumber : VIVAnews
Analisis:
Dapat dicermati, dalam kebudayaan Aceh yang kental dengan ajaran-ajaran syariat Islam itu  sempat “surut” pasca tsunami dengan munculnya beberapa kasus sebelum kasus anak punk ini, dengan munculnya tindakan/kasus penggundulan ini sudah membuktikan bahwa kebudayaan Aceh itu tidak benar-benar “surut”. Mengapa? Ya, jelas karena bagi masyarakat Aceh kebudayaan punk itu tidak ada dan tidak diajarkan. Karena memang public image dari punk yang dekat dengan tindak anarkis dan menganut paham kebebasan (berekspresi).
Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat umum atau pun dari HAM. Jelas hal yang dilakukan pemda itu sangat bertentangan dengan HAM. Karena melanggar prinsip kebebasan (berekspresi) bagi setiap manusia yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat dunia. Karena kedua sisi sudut pandang ini lah yang sekarang justru sedang diperdebatkan. Tetapi kembali pada pepatah lama yang menyebutkan “Dimana kaki berpijak, disitu langit dijinjing”  yang maknanya kurang lebih adalah dimana kita berada, kebudayaan/nilai-nilai yang berlaku di tempat kita berada itulah yang kita taati. Meskipun begitu, tidak semua anak punk demikian, karena di Jakarta sendiri ada komunitas punk muslim yang memiliki sikap yang baik, karena dalam komunitas tersebut mereka belajar tentang islam dan bagaimana cara bertingkah laku yang baik. Dan dari fenomena yang kami dapat, punkers pun diberi penyuluhan, pembelajaran, dan pendidikan akidah, agar mereka bisa lebih mengenal agama dan tingkah laku yang baik.
BAB IV
KESIMPULAN
 1.1  Kesimpulan
Aceh adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki ragam budaya, kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya yang beragam tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri. Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004.  Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah, karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun, berkembangnya budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab terlihat aneh di Aceh. Ditambah lagi adanya komunitas punk di Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi. Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat, karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Dipetik November 29, 2011, dari http://www.tamanmini.com
Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.tamanmini.com/anjungan/APAnjungan/306730562114/Anjungan
Nangroe-Aceh
Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.tamanmini.com/budaya/BSuku/283228962124/Suku-Bangsa-Aceh
Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.tamanmini.com/budaya/BUpacara/323131613123/Upacara-adat-di-Aceh
Dipetik November 29, 2011, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
Dipetik November 7 2011, dari  http://acehpedia.org/Budaya_Aceh.
Aceh, F. (2007). Pakaian Adat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.acehforum.or.id/showthread.php/4894-Pakaian-adat-Aceh/page3
Cahyaningsih, I. (2009). Sejarah Rumah Adat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://niynabubu.blogspot.com/2009/11/sejarah-rumah-adat-aceh.html.
Indah. (2011). Baju Adat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://carapedia.com/baju_adat_aceh_info247.html
Ogi. (2011). Pola Hidup dan Golongan Masyarakat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://carapedia.com/pola_hidup_golongan_masyarakat_aceh_info526.html
Salehudin, A. (2008). Rumah Aceh (Rumah Tradisional di Melayu Aceh di Provinsi Aceh).
Dipetik November 29, 2011, dari http://asalehudin.wordpress.com/category/rumah
adat/
Saputra, A. (2008). Sejarah Kebudayaan Aceh. Dipetik November 7, 2011, dari
http://andriansaputra.multiply.com/journal/item/21/SEJARAH_KEBUDAYAAN_A
CEH
Timphiek. (2009). Asimilasi dalam Budaya Aceh. Dipetik November 7, 2011, dari
http://blog.harian-aceh.com/asimilasi-dalam-budaya-aceh.jsp
Sjah, R . (2005). Budaya Aceh Mulai Bergeser Pasca Tsunami. Dipetik Desember 2, 2011
dari  HYPERLINK “http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature&id=10″ http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature&id=10