Tatanan Sosial dan
Pengendalian Sosial
Pada Masyarakat Aceh
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA NIM
Muhammad Fajri 421006007
JURUSAN
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011-2012
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah SWT yang dengan quddrah dan iradah-Nya penulis sudah selesai menyusun
makalah dengan judul “
Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial Pada Masyarakat
Aceh “.
Selawat
dan salam penulis sampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, juga sahabatnya
yang telah susah payah dalam memperjuangkan Agama Allah di muka bumi ini.
Sehingga pada saat ini kita masih merasakan hasil perjuangannya.
Ucapan
terima kasih kepada Bapak/Ibu Pengasuh Mata Kuliah “ Sosiologi “ yang telah membimbing
penulis dalam upaya menyelesasikan makalah ini. Terimakasih juga penulis
ucapkan kepada kawan-kawan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materil kepada penulis sehingga makalah ini telah terselesaikan.
Saya
menyadari bahwa makalah ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu
laporan ini masih membutuhkan masukan agar makalah ini menjadi lebih baik dan
sempurna. Berkaitan dengan hal tersebut saya sangat mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing.
Banda
Aceh, 28 Mei 2012
Penulis
i
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar .....................................................................................................
i
Daftar
Isi .................................................................................................................
ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang............................................................................................... . 1
BAB II
Pembahasan
1. Pengertian Tatanan Sosial
dan Pengendalian Sosial
2
2.
Tatanan
Sosial dan Pengendalian Sosial di Aceh 3
3. Renungan
Terhadap Realitas Sosial Masyarakat Aceh 5
4.
Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi. 6
5.
Sejarah Aceh 11
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................... 12
Daftar Referensi...................................................................................................... 14
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Dewasa ini hukum
sepertinya hanya berjalan ditempat, seperti kita lihat dan perhatikan banyaknya
penyimpangan dan pelanggaran hukum walaupun sebenarnya hukum telah dikemas
dalam undang-undang.
Banyaknya
pelanggaran semakin hari semakin terasa sebagaimana berita- ditelevisi begitu
nyaman dengan selalu menjadikan berita pelanggarn hukum sebagai berita utama
dikoran.
Berita dikoran
misalnya, adanya masyarakat mencuri sandal dan dihukum selama lima tahun
penjara, tetapi para koruptor yang apabila mencuri 10 miliyar hanya di hukum
satu tahun. Sunguh menggelikan kalau membaca berita di Indonesia ini hokum
seperti pincang, pengendalian social seperti tidak terlaksana walaupun
terlaksana laksana ada pemihakan kepada yang lebih terhormat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial.
Kita hidup dalam
suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut
mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan
bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial
order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan
baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini
terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan
baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial
dengan baik.
Prinsip yang
bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial.
Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial
tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar
status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai.
Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas
dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai
diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan
sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi,
status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga
tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara.
Pengendalian
sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial
serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai
norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik
diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang /
membangkang.
Berikut ini adalah cara-cara yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
a) Pengendalian
Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif).
Pengendalian
lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok
sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
b) Pengendalian
Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif).
Pengendalian
simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan,
iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.
c) Pengendalian
Kekerasan (Pengendalian Koersif).
Pengendalian melalui
cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si
pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama.
Contoh seperti main hakim sendiri.
2. Tatanan
Sosial dan Pengendalian Sosial di Aceh.
a. Tatanan
Sosial di Aceh.
Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa
adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang
menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Coba Anda identifikasi prasyarat
apa saja yang ada pada lingkungan sosial Anda? Prasyarat-prasyarat inilah yang
kita sebut tatanan sosial (sosial order).
Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling
berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang di atur oleh seperangkat
norma dan nilai di istilahkan dengan tatanan sosial. Pada saat kita berbicara
tentang tatanan sosial, ada beberapa konsep penting yang perlu di diskusikan
yaitu tentang: struktur sosial, status sosial, peranan sosial, institusi
sosial, serta masyarakat.
Apabila kita melihat tatanan sosial pada masyarakat Aceh,
antara kehidupan Syari’ah dan Percikan Hedonisme maka pada saat itu Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik
berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah
di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan
syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian
juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang,
termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka
dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik
baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembangan yang
ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian
masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dasar pemikiran
penegakan syariah di Aceh antara lain diinspirasi oleh realitas politik dan
ataupun subtansi keislaman itu sendiri. Pemaknaan bahwa Islam, dalam konteks
kajian dijadikan sebagai instrumen yang bertujuan untuk dapat mengantar
kehidupan seseorang kepada keselamatan hidup dunia dan akhirat. Merujuk kepada
makna akar kata, Islam ia diartikan selamat. Dalam perspektif ini pula siapa
yang memiliki komitmen teguh terhadap keislamannya berarti dia telah
menyediakan dirinya untuk berada pada posisi kehidupan selamat di dunia dan
selamat di akhirat. Penelaahan terhadap Islam akan dapat dikonstruksi lewat
pangkajian yang detail akan kandungan Islam yang meliuputi tiga hal pokok
penting, yaitu konsep iman, konsep islam serta konsep ihsan. Formulasi ketiga
konsep ini berada pada tataran Islam sebagai aqidah, syariah dan akhlak.
Kehadiran Muhammad Saw sebagai pengemban risalah Islam itu sendiri adalah untuk
mengimplementasikan nilai-nilai dasar tersebut di dalam kehidupan kemanusiaan.
b. Pengendalian Sosial di Aceh.
Seperti
contoh pengendalian sosial di Aceh yaitu provinsi Aceh (Nanggroe Aceh
Darussalam) dan sejarahnya. Aceh
(sebelumnya dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Aceh)
adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di
Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan
kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara
dan selatan.
Ibu
kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk
dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai
musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya,
Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh
mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu
terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber
hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh
Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara
3. Renungan
Terhadap Realitas Sosial Masyarakat Kita Aceh.
Komunitas yang tinggal di Aceh secara defacto maupundejure adalah
komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam
yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai
yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam
realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan
kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja
misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya
diukur oleh dunia materi semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih
diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif
Islam.
Kalau ini disebut sebagai claim bisa saja ditolak oleh berbagai pihak.
Namun sebelum itu diperlukan juga kearifan yang bersahaja, bahwa betapa banyak
komunitas kita yang telah mengabaikan nilai-nilai prinsip kehidupan yang telah
diterapkan oleh endatu hanya untuk mengejar untuk kepentingan dunia
material. Apa yang saya amati adalah, bersamaan dengan sebuah komunitas
masyarakat mengabaikan nilai-nilai
tradisi adat-istiadat keacehannya akan memiliki kecenderungan akan dengan
sangat mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai hedonistik yang menular dalam
berbagai dimensi kehidupan. Kembali kepada nilai tradisi yang berbasiskan
syariat akan dapat membentengi diri manusia ke dimensi etis normatif yang
diharapkan menjadi role model bagi komunitas lainnya. Dari
sisi ini tugas dan tanggung jawab komunitas yang menjunjung tinggi nilai
syariat itu menjadi sangat spesifik. Sehingga ia tidak mudah disetrum oleh
segala bentuk paham ataupun aliran yang dapat menggerogoti nilai-nilai normatif
yang dianut.
Bagaimanapun juga kesenangan, kebahagiaan semu tanpa disertai dengan
pertimbangan nilai-nilai normatif moral keberagamaan yang dijadikan sebagai
orientasi hidup adalah langkah keliru. Kalau saja dapat dipahami bahwa prinsip
dasar hedonik sebagai bentuk kondisi sosial duniawi yang tak
terbantahkan, sudah saatnya kita mereview kembali apa yang diisyaratkan Abu
Hurairah ra sebagai hadis Nabi Saw, beliau bersabda bahwa: inn al-dunya
mal’unat mal’un wama fiha, illa ndzikr Allah wama wa Lahu, wa ‘alimun, wa
mutaalimun (hr Ahmad). Apa yang dapat dipetik dari sabda tersebut,
bahwa duniawi ini adalah terlaknat termasuk segala isinya kecuali orang yang berdzikir (ingat) kepada
Allah, orang yang berilmu (tambahan di hadis lain mengamalkan ilmunya) dan
orang yang belajar.
Ya, kita dapat memahami, bahwa dunia ini penuh tipu daya karena itu dia
terlaknat. Kalau kita tidak arif menyikapi dunia beserta segala isinya tentu
kita akan diperbudak oleh dunia, disinilah posisi duniawi itu terlaknat.
Diharapkan hanya mereka yang berdzikir, memiliki ilmu serta belajarlah yang
mampu menahan serta menselaraskan kehidupan duniawi penuh tipu daya ini diolah
menjadi sebuah kebajikan, karena prilaku kita di dalam pemanfaatan duniawi ini
diredhai oleh Allah. Bukankah redha ilahi itu menjadi urgen bagi menusia yang
mengedepankan nilai-nilai normatif keberagamaan di dalam kehidupannya.Terkait
dengan hedonisme, tentu saja kita tidak dapat pungkiri menjadi trend kehidupan
komunitas hari ini. Ini tidak lebih karena kepribadian yang telah mentuhankan dunia
meterial sebagai tujuan hidup. Dalam posisi ini diperlukan kearifan kembali
kepada nilai-nilai tradisi adat istiadat serta nilai normatif keberagamaan
dalam dimensi ferennial dapat membentengi diri terhindar dari pengaruh hedonik.
4.
Mikrososiologi,
Mesososiologi dan Makrososiologi.
Seorang ahli sosiologi Gerhard
Lenski (1985), mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang
analisis yaitu:
Ø Mikrososiologi, menurut Lenski yaitu
bagian sosiologi yang mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada
individu. Sedangkan menurut Collins yaitu bagian sosiologi yang melibat
analisis rinci mengenai apa yang di lakukan, di katakan, dan di pikirkan
manusia dalam laju pengalaman sesaat.
Maksud dari kedua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan
bahwa Mikrososiologi ialah menyelidiki berbagai pola pikiran dan prilaku yang
muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil. Orang-orang yang
mengidentifikasi diri mereka sebagai sosiolog mikro tertarik kepada berbagai
gaya komunikasi verbal dan non verbal dalam hubungan sosial face-to-face,
proses pengambilan keputusan oleh para hakim, formasi dan integrasi kelompok
perkawanan, dan pengaruh keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok terhadap
pandangan dunianya.[1]
Mikro pada tingkat perubahan
sosialnya lebih kepada keteraturan yang
berasal dari tekanan internalisasi dan bersifat individual, yang berarti bahwa
keteraturan berasal dari negosiasi individual.[2]
Ø Makrososiologi, menurut Lenski yaitu
bagian sosiologi yang mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh serta
sistem masyarakat dunia. Sedangkan menurut Collins yaitu bagian sosiologi yang
melibatkan analisis proses sosial berskala besar dan berjangka panjang. Jadi
dari kedua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa makrososiologi
mempersembahkan segala usahanya untuk mengkaji berbagai pola sosial berskala
besar. Ia memusatkan perhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan
berbagai unsur pentingnya. Seperti ekonomi, sistem politik, pola kehidupan
keluarga, dan bentuk sistem keagamaannya. Ia juga memusatkan perhatiannya
kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.
Banyak sosiolog makro yang membatasi diri mereka dengan hanya mengkaji
masyarakat tertentu pada suatu penggalan sejarah tertentu pula. Makro pada
tingkat perubahan sosialnya lebih kepada keteraturan secara eksternal yang di
ciptakan dan bersifat alamiah, yang berarti bahwa keteraturan di hasilkan oleh
fenomena kolektif.
Ø Mesososiologi, menurut Lenski yaitu
bagian sosiologi yang tertarik pada institusi khas dalam masyarakat.
Jadi, apabila kita melihat penerapan pembagian
makrososiologi, mesososiologi, dan mikrososiologi di Aceh. Kita bisa melihat
antara Punk Vs Syari’at Islam di Aceh.
Jika
mendengar berita konser punk digerebek oleh polisi barangkali agak biasa, tapi
yang membuat berita tersebut luar biasa ialah penggerebekan dilakukan oleh
polisi syari’ah (wilayatul hisbah/WH). Hal ini hampir tidak pernah terjadi
sebelumnya dalam sejarah konser musik di Indonesia. Illiza Sa’aduddin Djamal,
wakil walikota Banda Aceh yang bertanggung jawab atas penggerebekan tersebut
mengatakan bahwa alasan penangkapan ialah karena “punk rock itu
buruk dan tidak sesuai dengan syari’at Islam”.[3]
Dalam
insiden tersebut, 65 punk mengalami tindakan kasar dari aparat seperti
pemukulan, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penggundulan, dibenamkan ke
dalam air dingin, dan ‘pembinaan’ dengan paksa selama 10 hari di camp
kepolisian (SPN). Illiza mengatakan bahwa penangkapan dilakukan guna
‘menyelamatkan’ generasi muda Aceh dari ‘perilaku yang negatif.’ Sejak itu
pemerintah kota Banda Aceh berjanji akan bekerjasama dengan kepolisian, dan
polisi syari’ah untuk terus mencari dan menangkap siapa pun yang menunjukkan
identitas punk di wilayah Banda Aceh. Dalam konteks ini, punk di Aceh dipandang
sebelah mata. Ia diidentikkan dengan budaya nihilisme, seperti mengkonsumsi
narkoba, free-sex, kekerasan, dan kriminalitas. Maka dari itu
setiap punk yang ditangkap akan dikirim ke SPN untuk ‘dibina’ agar menjadi
‘anak yang baik’ dan ‘disiplin.’
Tindakan
para aparat di Aceh ini telah melanggar hukum dan prinsip hak asasi manusia.
Pertama, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kawanan punk tersebut.
Kedua, aparat melarang punk yang ditangkap untuk mendapatkan bantuan hukum.
Ketiga, pihak aparat bahkan melarang mereka menghubungi orang tua mereka ketika
ditangkap. Keempat, mereka dipaksa digunduli dan ‘dibina’ di luar kehendak
mereka, dan di’permalukan’ di depan publik. Kelima, kebebasan berekspresi dan
berkumpul mereka dibatasi (bahkan dinihilkan). Terakhir, pihak walikota Banda
Aceh, kepolisian, dan polisi syari’ah telah melakukan diskriminasi kelompok
sosial dimana komunitas punk dituduh bertentangan dengan agama dan syari’at
Islam.
Terlepas
dari pelanggaran hukum dan prinsip HAM yang dilakukan oleh pihak walikota,
kepolisian, dan polisi syari’ah ini, sebagian masyarakat Aceh yang tergabung
dalam sejumlah ormas Islam termasuk FPI, HUDA, PII, KAMMI, KAPMI dan HMI
mendukung langkah untuk menganihilasi komunitas punk tersebut. Kini pelucutan
elemen-elemen punk dari generasi muda di Aceh akan semakin gencar dilakukan.
Dengan semangat ‘menjaga’ kemurnian syari’at Islam, aparat bekerjasama dengan
ormas-ormas Islam di Aceh seolah-olah melancarkan ‘jihad’ melawan punk!
Langkah
pemerintah dan kelompok Islam di Banda Aceh ini, bagaimanapun juga, telah
menuai kritik dari masyarakat domestik dan internasional. Komunitas punk di
Jakarta, Makassar, dan Bandung menggelar aksi solidaritas untuk kawan-kawan
punk yang ditangkap di Aceh dengan berunjuk rasa turun ke jalan. Mereka
menuntut agar aparat di Aceh bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang
dilakukan kepada saudara-saudara mereka, dan meminta agar pihak kepolisian
serta walikota Banda Aceh segera membebaskan mereka, dan membersihkan nama
baiknya. Di Moskow, komunitas Anarcho-punk Rusia menunjukkan aksi solidaritas
yang serupa dengan menyampaikan pesan yang tegas kepada pemerintah Indonesia,
yaitu dengan mencorat-coret tembok kantor Kedutaan Besar RI dengan tulisan
“Religion=Fascism”, “Punk is not a crime!” Komunitas punk di London,
Inggris berdemonstrasi membuat petisi yang serupa yaitu agar kawanan punk di
Aceh agar segera dibebaskan (‘Free the Aceh Punks!’). Di Amerika Serikat,
komunitas punk di San Francisco dan Los Angeles mendatangai kantor Konsulat
Jenderal RI dan menyatakan kekhawatiran mereka terhadap nasib punk di Aceh.
Aksi solidaritas juga dilakukan melalui jaringan internet dimana berbagai
komunitas punk di seluruh dunia, dari Eropa hingga Asia, ‘bertemu’ dan mengadakan
sebuah kampanye mendukung kawanan punk di Aceh dengan mengumpulkan berbagai
mixtape berupa kaset dan CD musik (punk, hardcore, dan crust) untuk dikirim ke
komunitas punk di Aceh.
Meskipun
respon dan kritik dari berbagai belahan dunia bermunculan, tampaknya pihak
Walikota dan Kepolisian Banda Aceh tidak begitu peduli. Sebaliknya, mereka
malah beranggapan bahwa “pembinaan” punk adalah suatu tindakan yang “benar”,
dan tidak melanggar HAM. Ketika Kapolda Banda Aceh Iskandar Hasan ditelepon
oleh Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan pelanggaran HAM
terhadap kawanan punk tersebut, ia malah mengatakan pada mereka bahwa
penggundulan dan pembenaman anak-anak ke air sungai merupakan sebuah “tradisi”.
Ormas-ormas Islam seperti yang disebutkan di atas bahkan menganjurkan agar
pembinaan 10 hari anak-anak punk di SPN semestinya diperpanjang hingga 3 bulan.
Menurut mereka, punk telah keluar dari “norma agama, budaya, dan adat istiadat
Aceh.”
Dari
kasus ini setidaknya ada tiga inti masalah yang mengemuka. Pertama, terdapat
mispersepsi antara pemerintah, aparat, dan masyarakat Aceh mengenai budaya dan
komunitas punk. Punk dalam kasus ini dinilai sangat negatif, bahkan lebih
buruknya lagi, dihakimi ‘sesat’ oleh sebagian kelompok Islam, meski punk sama
sekali bukan sekte agama. Mispersepsi dan salah pengertian ini kemudian
melahirkan persoalan yang kedua, yaitu seolah-olah adanya demarkasi antara punk
dengan Islam (“punk versus Islam”). Di sini persoalan menjadi serius, karena
penganut punk dan subkultur sejenisnya adalah orang-orang beragama yang
kebanyakan Muslim. Masalah ini sangat penting untuk diklarifikasi bersama guna
menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa yang akan datang.
Pemerintah, masyarakat, dan ilmuwan, termasuk di dalamnya komunitas punk, mesti
berdialog secara aktif dan mengklarifikasi persoalan punk versus agama ini
sebelum berakumulasi atau merembet ke persoalan-persoalan lain yang lebih
serius.
5. Sejara
Aceh.
Pada
zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan
negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang
tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir
barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh
telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad
ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan
Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16,
pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris)
dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di
Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda
ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada
Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal
ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah
Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Kita hidup dalam
suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut
mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan
bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial
order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan
baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi.
Pengendalian
sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial
serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai
norma dan nilai yang berlaku.
Apabila kita melihat tatanan sosial pada masyarakat Aceh,
antara kehidupan Syari’ah dan Percikan Hedonisme maka pada saat itu Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik
berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah
di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan
syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian
juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang,
termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka
dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik
baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembangan yang
ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian
masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan
masyarakat.
Seperti
contoh pengendalian sosial di Aceh yaitu provinsi Aceh (Nanggroe Aceh
Darussalam) dan sejarahnya. Aceh
(sebelumnya dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Aceh)
adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di
Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan
kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara
dan selatan.
Komunitas yang tinggal di Aceh secara defacto maupundejure adalah
komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam
yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai
yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam
realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan
kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja
misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya
diukur oleh dunia materi semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih
diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif
Islam.
Seorang
ahli sosiologi Gerhard Lenski (1985), mengemukakan bahwa dalam sosiologi
terdapat tiga jenjang analisis yaitu: Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi.
Daftar Referensi
·
Sunarto Kamanto, Pengantar
Sosiologi, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004)
·
Ishomuddin, Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta selatan: Ghalia Indonesia, 2002)
·
Salim Agus, Perubahan
Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002)