BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
1.2 Tujuan Pembuatan Makalah
Di dalam penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang kami jabarkan, diantaranya adalah:
- Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Psikologi Lintas Budaya
- Dari hasil diatas kami ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang Aceh dan budayanya
- Untuk membantu para mahasiswa memahami kebudayaan Aceh
1.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, kami menggunakan metode pengambilan data secara sekunder, yaitu pengambilan data secara tidak langsung melalui informasi yang sudah ada seperti internet.
BAB II
PENGENALAN DAN SEJARAH ACEH
2.1 Pengenalan Wilayah Aceh
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.
A. Sejarah Aceh
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 denganBritania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
1. Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
2. Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
3. Bahasa
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
4. Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
B. Sejarah dan Pengenalan Kebudayaan Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan/kenduri. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat delapan sub suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Simeulu, Kluet, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis mempunyai budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Suku Gayo dan Alas merupakan suku yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
C. Hakekat sistem budaya Aceh adalah Agama Islam
Syariat Islam adalah Berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Sumber: Al-Qur’an (sumber hukum Islam yang pertama), Hadis (seluruh perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad yang kemudian dijadikan sumber hukum), Ijtihad (untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis).
Oleh sebab itu segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.
D. Sistem Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak yang belum menikah. Namun bagi anak laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga.
E. Kesenian
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
F. Asimilasi dalam Budaya Aceh
Setiap bangsa mempunyai corak kebudayaan masing-masing. Kekhasan budaya yang dimiliki suatu daerah merupakan cerminan identitas daerah tersebut. Aceh memiliki banyak corak budaya yang khas.
Kebudayaan juga merupakan warisan sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat yang mendukungnya. Prof Dr H Aboebakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menulis bahwa pada awalnya adat dan budaya Aceh sangat kental dengan pengaruh Hindu. Ia merujuk pada beberapa buku sebelumnya yang pernah ditulis oleh ahli ketimuran.
Hal itu terjadi karena sebelum Islam masuk ke Aceh, kehidupan masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh unsur hindu. Setelah Islam masuk unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan Islam dihilangkan, namum tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap dipertahankan.
Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat dan budaya Aceh sebagaimana yang berlaku sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam hadih maja disebutkan, “Mate aneuék meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Ungkapan ini bukan hanya sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan yang berisi penegasan tentang pentingnya melestarikan adat dan budaya sebagai pranata sosial dalam hidup bermayarakat.
Adat dan kebudayaan juga mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat yang merupakan hukum pelengkat dari hukum yang berlaku secara umum (hukum positif). Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan ketentuan adat.
Aceh memiliki kekhasan tersendiri dalam hukum adat dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada semenjak zaman kerajaan. Hukum adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam, sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri. Seperti tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn adat lagèë zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua.
G. Pola Hidup & Golongan Masyarakat Aceh
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Sedangkan Golongan Masyarakat aceh, pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
BAB III
FENOMENA PERUBAHAN KEBUDAYAAN DI ACEH
Fenomena 1:
Budaya Aceh Mulai Bergeser Pasca Tsunami
Ridwan Sjah (22/02/2005 – 08:09 WIB)
Jurnalnet.com Jurnalnet.com (Banda Aceh):
Budaya Aceh yang tidak terlepas dari budaya Islam Aceh sejak Kerajaan Samudera Pasai, yang sempat menjadi pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, kini sedikit demi sedikit mulai bergeser pasca-gempa bumi diikuti tsunami yang meluluh lantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan menewaskan lebih 200.000 jiwa manusia pada 26 Desember 2004. Pergeseran budaya itu, antara lain terlihat di bidang akhlak berpakaian bagi muslimat. Wanita Islam wajib memakai busana yang menutup aurat lengkap dengan jilbab yang menutup kepala hingga di bawah bahunya.
Kalau sebelum bencana itu, masyarakat Aceh tabu melihat wanita berjalan tanpa jilbab yang menutupi kepala hingga ke bahunya, maka pasca-tsunami tampak sudah tidak menjadi tabu lagi. Tak ada orang yang menegur, tak ada orang lagi yang peduli.
Muslimat banyak terlihat santai berjalan menelusuri jalan-jalan tanpa memakai jilbab, padahal sebelumnya mereka tampak selalu memakai jilbab di propinsi yang berhukum Syariat Islam sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Wanita muslimat pasca-musibah alam itu sudah berani duduk berboncengan di atas sepeda motor yang dikenderai seorang pria yang bukan muhrim tanpa memakai jilbab, seperti yang setiap hari kini tampak di jalan-jalan di ibukota Banda Aceh.
Terlihat sepeda motor dinaiki tiga orang, seorang pria yang mengenderainya dengan dua wanita duduk di belakang. Para wanita itu tidak berjilbab, bahkan kulit punggung dan celana dalamnya terlihat, seperti busana yang kini banyak dipakai kaum perempuan muda Indonesia masa kini. Padahal, hal itu dulu tidak pernah dijumpai di negeri yang menjalankan Syariat Islam itu.
Sewaktu Syariat Islam dicanangkan untuk diterapkan di negeri yang terkenal dengan sebutan Serambi Makkah itu, wanita-wanita muslimat serentak menyambut dengan memakai busana muslimat dengan jilbabnya. Nanggroe (negeri) Aceh Darussalam (wilayah keselamatan) merupakan satu-satunya daerah yang istimewa, karena pemerintah mengesahkan daerah itu sebagai daerah yang dapat menjalankan Syariat Islam, dan masyarakat Aceh yang merindukan syariat tersebut menyambut pelaksanaannya.
Tetapi, budaya memakai jilbab itu mulai meluntur, terutama pasca-tsunami yang menghancurkan 15 dari 21 kota di Aceh dan memusnahkan hampir semua rumah penduduknya. Banyak anak menjadi yatim piatu, tak memiliki ayah dan ibu, atau memiliki ayah tak memiliki ibu dan sebaliknya, sanak keluarganya pun mati atau hilang ditelan tsunami.
Kata H.Abdullah, salah seorang tokoh di Aceh, “Kalau non-muslim dapat dimengerti, tetapi justru banyak wanita muslimat mulai menanggalkan jilbab, tidak seperti dulu sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami dahsyat yang telah menewaskan dan menghilangkan lebih 200 ribu jiwa manusia di Aceh,” Rupanya bencana alam yang paling dahsyat terjadi di Indonesia itu tidak membuat orang menjadi takut dan jera, malah kaum wanita kini makin nekat, katanya.
Di restoran-restoran dan toko-toko di Banda Aceh, banyak wanita-wanita muslimat tidak memakai jilbab. Mereka duduk bercengkrama, bersenda gurau seolah-olah tak pernah terjadi bencana alam dahsyat di daerahnya.
Imam Masjid Babussalam di Lampaseh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Basri, menyatakan pula keprihatinannya, karena tidak bisa lagi menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, kawasan yang sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terkenal kuat memegang prinsip-prinsip Syariat Islam. “Kita ingin melaksanakan Syariat Islam, tetapi di pihak lain keadaan tak mendukung pelaksanaan syariat itu,” keluh teuku itu.
Ia mengakui banyak kemaksiatan terjadi di Aceh dan bencana alam itu merupakan suatu peringatan bagi masyarakat Aceh khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya dan ini hendaknya menjadi cambuk bagi manusia, agar menjalankan Syariat Islam dengan sungguh-sungguh. “Ini adalah murka Allah, karena banyak kemaksiatan yang terjadi di bumi Aceh. Mereka tidak cinta kepada masjid, yang menjadi pusat ibadah bagi umat Islam,” katanya.
Sebagian besar wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, hancur, tetapi masjid tetap berdiri tegak, tidak terkena dari amukan dan terkaman tsunami. Hendaknya manusia itu mau tobat kepada Allah sebelum peristiwa yang sama berulang kembali. Kasih tak tampak Selain lunturnya budaya memakai jilbab bagi muslimat itu, Aceh juga dicederai dengan mulai tak tampaknya kasih sayang di kalangan masyarakat Islam di negeri itu.
Dr. H. Bukhari Daud, MEd, tokoh pendidikan di daerah tersebut, mengatakan, kini mulai tak tampak lagi ada kasih sayang di kalangan masyarakat Aceh yang muslim padahal ajaran Islam itu mengajarkan agar orang-orang Islam itu berkasih sayang. “Tak ada lagi kasih sayang di antara masyarakat. Bahkan, ada yang sampai hati dan tega memotong jari tangan dan lengan mayat wanita untuk mengambil emas di jari tangan manisnya dan tangannya,” katanya.
Ada juga orang mengambil pagar-pagar rumah yang masih bagus, lalu dirusak dan diangkut dengan mobil untuk dijual, padahal itu hak orang lain, tambahnya. Ia menyatakan, prihatin atas perbuatan-perbuatan yang buruk itu, dan meminta agar para pelakunya sadar, tidak melakukan perbuatan dosa itu.
Ia meminta, agar seluruh anak negeri (Aceh) menyadari dan mengakaui kekeliruan selama ini. “Sesalilah segala kesalahan kita sedalam-dalamnya, kemudian bertaubatlah kepada Allah dengan segala ketulusan hati.” Dia berharapkan pula, masyarakat hijrah dari kebiasaan buruk kepada yang baik.
Analisis:
Menurut kelompok kami, mengapa pasca bencana tsunami di Aceh banyak wanita yang melepas kerudung/jilbabnya, dikarenakan kekecewaan yang sulit dikontrol kepada Sang Khalik. Mereka merasa sudah menjalankan syariat agama sebagaimana mestinya, seperti shalat, mengaji, menghindari perbuatan yang dilarang agama, dan lain sebagainya, tapi tempat tinggal mereka tetap ditimpa bencana yang dahsyat. Pasca tsunami, mungkin mereka berpikir, untuk apa menjalankan syariat agama, jika akhirnya ditimpa bencana pula. Selain itu, mereka kehilangan panutan mereka semasa hidup, seperti keluarga, kerabat, dan tokoh ulama setempat yang selalu mengarahkan mereka. Ditambah lagi, budaya luar, terutama budaya barat yang masuk secara perlahan ke dalam wilayah Aceh itu sendiri, menjadikan penduduk setempat lupa akan budaya lama yang sudah lama mereka lakukan. Karena beberapa hal itu, mereka merasa tidak berdaya dan memutuskan untuk melepas penutup aurat mereka, dalam hal ini kerudung/jilbab.
Fenomena 2:
Kisah anak punk aceh di bina polisi
December 20, 2011 – 2:26 am
Kisah Anak Punk Aceh Dibina Polisi
Ada yang mengaku sedih dan ada yang ingin berubah menjadi lebih baik.
VIVAnews – Sebanyak 65 orang anggota komunitas Punk di Banda Aceh yang ditangkap usai menggelar konser musik akhir pekan lalu, mendapatkan bimbingan di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Aceh Besar.
Ada yang mengaku sedih dan ada yang ingin berubah menjadi lebih baik saat mengikuti bimbingan yang digelar sejak Selasa 13 Desember 2011.
Mengenakan pakaian polisi, selama 10 hari mereka dilatih baris berbaris. Mereka juga mendapatkan bimbingan mental dan dilatih kedisiplinan. Saat pertama masuk kamp pelatihan, rambut mereka telah dicukur dan mereka diwajibkan mandi teratur.
M Fauzi, salah seorang pelatih dari SPN Seulawah mengatakan, selama di tempat latihan polisi itu, mereka dididik kedisiplinan dan latihan fisik untuk menjaga kebugaran. Mereka juga mendapat pelajaran dan pendalaman aqidah dengan mendatangkan ustadz dan pendeta dari luar sekolah polisi itu.
“Tadi pagi, tim dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) juga datang membimbing mereka. Ada 18 orang yang non-muslim dan kami panggil pendeta untuk membimbing mereka,” kata Fauzi, di SPN Seulawah, Aceh Besar, saat berbicang dengan VIVAnews.com, Jumat malam 16 Desember 2011.
Dari 65 orang yang ditangkap dan dididik di SPN Seulawah, 30 orang di antaranya berasal dari sejumlah daerah di Aceh seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireun, Tamiang, dan Takengon. Selebihnya berasal dari provinsi lainnya seperti Sumatera Utara, Lampung, Palembang, Jambi, Batam, Riau, Sumatera Barat, Jakarta, Bali, dan Jawa Barat.
Anggota komunitas Punk ini juga telah diperiksa kesehatannya. Tiga di antaranya dideteksi menderita gejala hepatitis. “Tiga yang gejala hepatitis dan satu orang positif. Setiap pagi kami periksa kesehatan mereka, kalau kesehatannya tidak memungkinkan, dia tidak kami perkenankan mengikuti kegiatan,” kata Fauzi.
Arismunadar,15 tahun, salah seorang anak punk yang juga mengikuti pelatihan itu mengaku sedih karena sejak ditangkap dia tidak bisa bersekolah. Arismunandar berasal dari Medan, Sumatera Utara dan datang ke Banda Aceh untuk berpartisipasi dalam konser amal yang digelar Punkers Aceh.
Saat berangkat ke Banda Aceh, dia juga meminta izin orang tuanya. Tetapi sejak ditangkap, dia tidak dapat mengabarkan kondisinya kepada orang tuanya karena handphone-nya disita sementara selama proses pembinaan.
“Saya tidak tahu bagaimana reaksi orang tua kalau tahu saya dibawa ke sini, saya mau menghubungi orang tua. Tapi, bagaimana caranya sebab handphone saya diambil,” katanya.
Anggota Punk lainnya, Sarah, 18 tahun, selama mengikuti pelatihan mengaku dirinya mendapat banyak pengetahuan tentang kedisiplinan dan agama. Dara asal Kabupaten Bireun ini mengaku memilih bergabung dalam komunitas punk karena kurang mendapatkan kasih sayang orang tuanya.
“Setelah dari sini saya mau sekolah lagi, saya ingin berubah dan menjadi lebih baik,” ujarnya. (Laporan: Riza Nasser | Aceh, art)
• sumber : VIVAnews
Analisis:
Dapat dicermati, dalam kebudayaan Aceh yang kental dengan ajaran-ajaran syariat Islam itu sempat “surut” pasca tsunami dengan munculnya beberapa kasus sebelum kasus anak punk ini, dengan munculnya tindakan/kasus penggundulan ini sudah membuktikan bahwa kebudayaan Aceh itu tidak benar-benar “surut”. Mengapa? Ya, jelas karena bagi masyarakat Aceh kebudayaan punk itu tidak ada dan tidak diajarkan. Karena memang public image dari punk yang dekat dengan tindak anarkis dan menganut paham kebebasan (berekspresi).
Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat umum atau pun dari HAM. Jelas hal yang dilakukan pemda itu sangat bertentangan dengan HAM. Karena melanggar prinsip kebebasan (berekspresi) bagi setiap manusia yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat dunia. Karena kedua sisi sudut pandang ini lah yang sekarang justru sedang diperdebatkan. Tetapi kembali pada pepatah lama yang menyebutkan “Dimana kaki berpijak, disitu langit dijinjing” yang maknanya kurang lebih adalah dimana kita berada, kebudayaan/nilai-nilai yang berlaku di tempat kita berada itulah yang kita taati. Meskipun begitu, tidak semua anak punk demikian, karena di Jakarta sendiri ada komunitas punk muslim yang memiliki sikap yang baik, karena dalam komunitas tersebut mereka belajar tentang islam dan bagaimana cara bertingkah laku yang baik. Dan dari fenomena yang kami dapat, punkers pun diberi penyuluhan, pembelajaran, dan pendidikan akidah, agar mereka bisa lebih mengenal agama dan tingkah laku yang baik.
BAB IV
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Aceh adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki ragam budaya, kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya yang beragam tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri. Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah, karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun, berkembangnya budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab terlihat aneh di Aceh. Ditambah lagi adanya komunitas punk di Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi. Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat, karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Dipetik November 29, 2011, dari http://www.tamanmini.com
Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.tamanmini.com/anjungan/APAnjungan/306730562114/Anjungan
Nangroe-Aceh
Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.tamanmini.com/budaya/BSuku/283228962124/Suku-Bangsa-Aceh
Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.tamanmini.com/budaya/BUpacara/323131613123/Upacara-adat-di-Aceh
Dipetik November 29, 2011, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
Dipetik November 7 2011, dari http://acehpedia.org/Budaya_Aceh.
Aceh, F. (2007). Pakaian Adat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://www.acehforum.or.id/showthread.php/4894-Pakaian-adat-Aceh/page3
Cahyaningsih, I. (2009). Sejarah Rumah Adat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://niynabubu.blogspot.com/2009/11/sejarah-rumah-adat-aceh.html.
Indah. (2011). Baju Adat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://carapedia.com/baju_adat_aceh_info247.html
Ogi. (2011). Pola Hidup dan Golongan Masyarakat Aceh. Dipetik November 29, 2011, dari
http://carapedia.com/pola_hidup_golongan_masyarakat_aceh_info526.html
Salehudin, A. (2008). Rumah Aceh (Rumah Tradisional di Melayu Aceh di Provinsi Aceh).
Dipetik November 29, 2011, dari http://asalehudin.wordpress.com/category/rumah
adat/
Saputra, A. (2008). Sejarah Kebudayaan Aceh. Dipetik November 7, 2011, dari
http://andriansaputra.multiply.com/journal/item/21/SEJARAH_KEBUDAYAAN_A
CEH
Timphiek. (2009). Asimilasi dalam Budaya Aceh. Dipetik November 7, 2011, dari
http://blog.harian-aceh.com/asimilasi-dalam-budaya-aceh.jsp
Sjah, R . (2005). Budaya Aceh Mulai Bergeser Pasca Tsunami. Dipetik Desember 2, 2011
dari HYPERLINK “http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature&id=10″ http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature&id=10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar