Halaman

Kamis, 26 September 2013

Perempuan Aceh Di Sepanjang Kisah: Dari Fenomena “Inong Aceh” Hingga “Inong Suwang”

Perempuan Aceh Di Sepanjang Kisah: Dari Fenomena “Inong Aceh” Hingga “Inong Suwang”

“Tajok umong bak nyang tem meugoe; tajok inong bak nyang tem wo”
“berikan sawah kepada yang mau menggarapnya, berikan istri kepada suami yang mau pulang”
“Ta keumeung meugo ta kalon umong, ta keumeung meukawen ta kalon inong”
artinya, kalau ingin bertani lihat dulu sawahnya; ingin berumahtangga lihat dulu perempuannya.
“napsu ke kaya ta jak ceumatok, napsu keu krek-krok meukawen dua”
ingin berkecukupan pergilah menggarap sawah, ingin mencari keributan beristrikan dua


Pendahuluan

Belum lama ini provinsi Aceh pada satu sisi menorehkan “tinta emas” dalam sejarah pemilihan “Puteri Indonesia”, di mana Qory Sandioriva seorang “perempuan Aceh” kelahiran Jakarta pada 17 Agustus 1991, terpilih menjadi jawara di ajang yang diproyeksikan ke perebutan menjadi “Miss Universe” pada level internasional. Pada sisi lain, hal ini menjadi preseden “buruk” bagi Aceh, di mana Aceh sedang menerapkan pemberlakuan syariat Islam sedangkan “pakaian” yang dipakai sang putri tidak menggambarkan syariat Islam karena melepaskan jilbab sebagi penutup auratnya. Berbagai pro dan kontra terjadi di “Tanoh Reuncong”. Di mana klaim ulama dan mahasiswa Islam yang “mengkritisi” puteri tersebut karena tidak menggunakan “jilbab”, namun umara ditenggarai sebagai pihak yang telah memberikan “support” dan memperbolehkan “menanggalkan jilbab” bagi sang putri pada ajang yang berlevel nasional dan diikuti sebanyak 38 peserta dari 33 provinsi tersebut. Kisah ini menggambarkan sekilas polemik tentang “image” perempuan di Indonesia khususnya di Aceh.

Dalam kurun waktu lebih dari 64 tahun ini, ternyata bangsa kita masih saja dirundung berbagai persoalan krusial menyangkut pergulatan martabat bangsa, salah satunya adalah masalah perempuan Indonesia yang masih mengalami berbagai “diskriminasi” dalam kiprahnya di dunia, seperti pelecehan terhadap TKW yang bekerja di luar negeri. Akibatnya banyak aktivis perduli perempuan sangat gigih memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Di sisi lain, perdebatan mengenai penciptaan “image” terhadap berbagai aksi perempuan Indonesia masih saja terjadi, di antaranya yang masih diperdebatkan adalah masalah penggunaan “bikini” oleh jawara Putri Indonesia 2008, Zivanna Lethisa Siregar pada ajang Miss Universe 2009 di Nassau, Bahama yang ditonton oleh publik di seluruh Indonesia. Begitu juga polemik baru akan terjadi di Aceh, dengan terpilihnya “Putri Indonesia” dari provinsi ini, yang nantinya tentu saja diproyeksikan ke ajang “Miss Universe”.

Sementara itu di provinsi Aceh banyak juga persoalan menyangkut perempuan menjadi sorotan. Di antara permasalahan perempuan yang sempat mencuat ke permukaan seperti dilangsir oleh beberapa media massa sejak pada periodisasi konflik hingga pascas mong. Berbagai kisah “caboi” atau cabul yang sempat dimuat di media massa lokal dan dunia cibernetik di Aceh menunjukkan degradasi moralitas masyarakat yang “notabene” melibatkan perempuan Aceh sebagai “sasaran empuk” atau pihak yang selalu dirugikan dan pihak yang selalu harus mampu menjaga kesucian, martabat, dan marwah keluarga besarnya.

Pada sisi lain pergeseran nilai di dalam masyarakat Aceh, merunut catatan sejarah yang pernah ditulis peneliti-peneliti dari Barat tentang “inong Aceh” dan berita-berita media massa lokal dan nasional saat ini tentang perilaku “inong suweng” menunjukkan tren “menaik” seiring dengan relasitas zaman yang menuntun terhadap perubahan image dari segelintir perempuan Aceh yang terus mengikuti tren global yang kian menisbikan sekat-sekat budaya. Perempuan Aceh terus mengalami kontak-kontak dengan budaya luar pada saat Aceh terbuka bagi pergaulan nasional maupun transnasional sejak dari pengaruh Hindu, Budha, Islam, kolonialisasi Barat, zaman kemerdekaaan, zaman setelah kemerdekaaan, masa konflik dan pascasmong hingga saat ini.

Pada era globalisasi ini, sudah tidak bisa membedakan antara tren atau jatidiri di antara perempuan-perempuan di nusantara maupun di dunia, akibat modernitas di segala lini. Saat ini, tidak bisa lagi memebedakan performa perempuan Aceh dengan perempuan lainnya di nusantara seperti perempuan Medan, Padang, Malaysia, Singapore, Eropa, Australia, Amerika ataupun Eropa pada saat ini. Semua berferma sama, bertingkah polah sama serta berwajah dan berkostum hampir sama pula. Hanya satu hal yang masih tersisa dari perempuan Aceh, yaitu pakaian adat yang dipakainya pada saat pernikahan, selebihnya perempuan Aceh sudah tak bisa dikenali dalam tata pergaulan sehari-hari, kecuali di bawah naungan “jilbab” dan pakaian yang kian modis.

Inong Aceh Pada Masa Lalu

Flashback pada abad ke-13, pencitraan terhadap perempuan Aceh menunjukkan masa “golden age” atau mengalami masa kejayaannya, yaitu ketika kerajaan Samudra Pasai. Di mana ditemukan banyak makam yang sangat indah dengan ukiran dan syair-syair yang ditatah rapi seperti pada nisan Ratu Nahrasyiah dan lain-lain. Pada periodisasi sejarah selanjutnya, yaitu ketika masa Kerajaan Aceh Darussalam, seperti yang dituturkan dalam kitab Bustanussalatin menyebutkan adanya Taman Ghairah, yang di dalamnya terdapat Taman Sari, Pinto Khop dan monumen Gunongan. Bangunan monumental ini, khusus dipersembahkan kepada permaisuri Sultan Iskandar Muda yaitu Putroe Phang sebagai rasa cinta yang menggelora yang direpresentasikan dalam bentuk monumen berdiorama seperti gunung-gunung yang dapat ditelusuri dengan menaiki tangga-tangga yang sangat ekstrim dengan lorong yang sempit untuk menaiki ke atasnya.

Ketika periodisasi selanjutnya, di masa perjuangan dalam mempertahankan eksistensi kerajaan Aceh, peran “inong Aceh” juga tidak dapat dikesampingkan dibandingkan kaum laki-lakinya. Hal ini dapat dibaca dengan hebatnya sepak terjang pasukan yang sangat terkenal ketangguhannya. Tersebutlah laskar “inong balee” atau “perempuan janda” yang dipimpin oleh seorang laksamana perempuan yang bernama Keumalahayati ketika mempertahankan eksistensi dan hegemoni kerajaan Aceh melawan ekspansi pasukan angkatan laut Portugis sampai ke selat Malaka. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah kuta (benteng) yang saat ini dikenal dengan Benteng Inong Balee yang terdapat di sebuah semenanjung Krueng Raya di tepian selat Malaka.

Selanjutnya, setelah “Treaty of London” pada tahun 1824 yang menggiring Aceh dalam konfrontasi dengan Belanda atas kedaulatannya di Sumatera. Selanjutnya ketika Perang Aceh berkecamuk melawan ekspansi Belanda di Aceh yang dimulai pada paruh akhir tahun 1873. Perang ini disebut sebagai perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia dan telah menewaskan lebih dari 2.200 orang pasukan di bawah naungan bendera kerajaan “oranye” tersebut. Di pihak kerajaan Aceh sendiri, banyak sekali panglima-panglima terbaik dan pasukan Aceh yang mengalami syahid. Sebagian di antara mereka diinternirankan ke pulau Jawa, Sulawesi dan Maluku bahkan ke luar negeri. Namun hal ini ternyata tidak menyurutkan perlawanan rakyat Aceh dengan tampilnya pemimpin pasukan dari kaum perempuan Aceh ke medan pertempuran melawan para “marsose” Belanda. Saat menjelang Sultan Aceh yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah dipaksa menyerah kepada Belanda di Pidie pada tahun 1903, perjuangan dari para perempuan ini menampakkan ekskalasi yang semakin mencuat, khususnya dalam beberapa perang gerilya di pedalaman Aceh.

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tampillah pejuang-pejuang “Inong Aceh” ke medan pertempuran. Di antara tokoh perempuan tersebut terdapat sederetan nama seperti Pocut Meligou, Cut Meutia di pesisir Utara Aceh, yang berakhir syahid dalam pertempuran di Batee Iliek dan di hulu Krueng Keureuto. Di pesisir Barat, Cut Nyak Dien mengambil alih sisa-sisa pasukan Teuku Umar, setelah beliau tertembak di Suak Sikee, Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1889. Perjuangan gerilya dipimpin oleh “inong Aceh” termasyhur ini hingga bertahun-tahun sampai beliau ditangkap pada usia yang sangat renta di hulu Krueng Manggi Aceh Barat. Sampai ditangkap, beliau tetap tidak mau tunduk terhadap kolonial Belanda sehingga kemudian diasingkan ke Sumedang Jawa Barat dan meninggal dunia di sana.

Pada masa penerapan linie konsentrasi, “Inong Aceh” ternyata juga tidak surut di dalam bergerilya. Di antaranya adalah perlawanan Inen Manyak Teri di pedalaman Aceh Tengah, pasca suaminya dibunuh di depan matanya sendiri dalam suatu sweeping marsose Belanda ketika dalam perjalanan menuju daerah Serbajadi. Selanjutnya perlawanan “inong Aceh” yang juga cukup tangguh, yaitu Pocut Baren yang berakhir hingga beliau syahid di hulu Krueng Ceuko Aceh Barat yang juga menunjukkan bahwa eksistensi “inong Aceh” dalam melawan kolonialisasi kaphe-kaphe “Barat” (Eropa) masih tetap menggelora setelah panglima perang laki-laki banyak yang terbunuh atau ditangkap Belanda.


Pada masa Jepang dan pascakemerdekaan, peranan perempuan seakan mulai mengalami “degradasi”, dan kian mengalami fluktuasi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Puncaknya adalah ketika konflik dan pasca reformasi tahun 1998, di mana pada saat itu, ada juga perempuan Aceh yang mencoba mendobrak zaman, vis a vis dengan “negara”, sehingga bermuara pada “pembungkaman suara” atau “su inong Aceh” saat itu, yang menyeretnya ke penjara.
Pasca gempa bumi dan smong, “inong Aceh” mulai bersentuhan dengan berbagai budaya luar yang datang ke Aceh ketika masa tanggap darurat. Pada saat itu justru mereka seakan terbias dalam ektase kehidupan dalam tata pergaulan dunia global yang semakin mengaburkan identitas dan spesifikasi mereka menjadi bagian dari globalisasi yang tak mungkin terelakkan. Kini “inong Aceh” sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tata pergaulan pada level nasional maupun internasional termasuk di dalam tren yang mengilhami kehidupannya.

Berdasarkan Hadih Maja atau untaian kata berfilosofis yang berkembang pada masa lalu seperti yang telah dituliskan di atas, merepresentasikan tentang kesiapan seseorang laki-laki dan perempuan di Aceh di dalam berumah-tangga, agar nantinya keluarga tidak berantakan dan perempuan yang dikawini tidak menjadi terlantar akibat konsekuensi yang diambilnya. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menjaga kesucian, kehormatan dan martabat yang tinggi para perempuan dengan perlindungan hukom dan adat yang berkembang di dalam masyarakat. Namun saat ini predikat martabat yang tinggi serta kemuliaan “inong Aceh” semakin menjadi “tanda tanya” seiring semakin maraknya eksploitasi mode dan tren yang merubah attitude mereka menjadi bagian dari dunia global yang menghilangkan identitas dan kekhasan yang mereka miliki. Bukan hanya di ranah performa, tapi moralitas mereka juga terimbas budaya global, akibatnya justru mengekploitasi attitude mereka sendiri, baik yang disebabkan oleh individu maupun orang lain yang menjerumuskan mereka. Penerapan Syariat Islam yang diidamkan-idamkan semenjak setelah kemerdekaan dengan berbagai deraan konflik, telah diberikan untuk negeri “Seuramo Mekah”. Syariat Islam ini telah diakui sejak beberapa tahun yang lalu, namun identitas “inong Aceh” justru semakin menjauhi dan mengalami “imagine” atau dapat disebut seperti “antara ada dan tiada” di tengah derasnya arus globalisasi di Aceh saat ini.


Setelah lebih setengah abad, kiprah perempuan Indonesia di alam kemerdekaan masih sangat menarik untuk diperbincangkan, menyangkut posisi mereka di dunia yang sedang gencar-gencarnya menjadi sorotan dan bahan perdebatan, baik mengenai kesetaraan gender maupun eksploitasi yang dialaminya. Di berbagai belahan dunia yang mendayagunakan resources mereka, baik di luar maupun di dalam negeri sendiri terjadi berbagai persoalan yang muncul terhadap perempuan di seluruh wilayah negara kepulauan ini. Di antara kasus-kasus miris yang mengemuka adalah masalah perselingkuhan, trafiking (trafficking), pelecehan seksual, eksploitasi seksualitas seperti di tabloid, majalah label XXX, film label XXX, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), peredaran narkoba, baik jaringan nasional maupun internasional.

Di sisi lain, di ranah kesusilaan maraknya keterlibatan perempuan dalam dunia pelacuran dan perzinaan di dalam kehidupan masyarakat global ini, baik yang dilakukan perempuan nonpendidikan maupun perempuan yang berpendidikan. Memang fenomena ini tidak mengenal level kehidupan, karena kisah klasik ini ditengarai telah terjadi sejak manusia mulai beraktivitas dalam dunia pergaulan “inong dan agam” di planet yang bernama Bumi. Mengenai kapan, di mana dan bagaimana profesi ini awalnya dilakukan, tidak ada satu catatan sejarah pun yang dapat ditemui atau dikenal secara luas. Sehingga dapat dikatakan, bahwa profesi ini tidak mengenal perbedaan spasial dan temporal karena hampir semua daerah baik di perkampungan maupun perkotaan masih saja ada aktivitas negatif dengan berbagai modus, operandi, baik yang berkedok tempat pengobatan tradisional, salon, dan tempat-tempat aroma terapi sampai traditional massage yang ujung-ujungnya melayani praktek “caboi” juga. Hal inilah yang memunculkan image “inong suwang” atau “perempuan nakal” terhadap segelintir perempuan termasuk di Aceh.

Beberapa kisah “inong suwang” atau perempuan pekerja seks komersial di Aceh, yang menarik dicermati adalah peristiwa penggundulan rambut mereka yang pernah dilakukan di depan Mesjid Baiturrahman Banda Aceh yang dilakukan pada tanggal 5 Desember 1999 dan disusul beberapa bulan kemudian terjadi penangkapan terhadap 12 perempuan malam di sebuah hotel di Banda Aceh pada 18 Maret 2002. Realitas perempuan pekerja seks komersial dianggap dapat mencoreng citra Aceh yang sejak lama telah menerapkan Syariat Islam di wilayahnya dengan dideklarasikan kembali pada tanggal 14 Maret 2002 oleh gubernur saat itu, Abdullah Puteh. Namun kenyataan keberadaan mereka memperlihatkan paradoks di tengah semangat penerapan syariat secara massif, karena perbuatan yang dikategorikan maksiat ini ternyata ada di Aceh bahkan disinyalir dilakukan oleh perempuan dari etnis Aceh. Setelah gempa bumi dan smong melanda Aceh, ternyata kisah miris perempuan Aceh dalam dunia kesusilaan yang menampakkan gejala semakin degradasi moral masyarakat Aceh pada saat globalisasi ini seperti yang terdeteksi dalam beberapa kisah yang terdapat di media massa maupun dunia cibernetik lokal.

Pada tataran historis Aceh, dunia pelacuran dan perzinaan yang melanggar norma kesusilaan memang tidak pernah ditoleransikan. Pada masa lalu, masyarakat Aceh memperlakukan pelaku tindakan “amoral” ini dengan “sangat keras”, sehingga kasus ini jarang sekali mencuat ke permukaan seperti saat ini. Menurut Snouck, hukuman perzinaan dilakukan dengan dua kategori berdasarkan hukom dan adat. Pertama, bagi pelaku perzinaan yang pernah menikah maka hukumannya akan dirajam sampai mati. Kedua, bagi pelaku perzinaan yang belum pernah menikah, maka hukumannya akan dicambuk 100 kali, kemudian terhadap kedua pelaku dilakukan “pengektradisian” atau pengusiran ke luar daerah paling sedikit selama setahun, hal ini merujuk pada referensi mazhab Syafiie. Sebaliknya, Snouck juga memaparkan bahwa secara kuantitas, banyak juga terjadi peristiwa amoral ini di Aceh pada masa itu, namun jarang muncul ke permukaan karena pelakunya banyak dari kalangan “pejabat” dan “birokrat” lokal, sehingga menyebabkan sedikit sekali terjadi eksekusi kepada para pelaku tindakan amoral ini. Hal ini dapat ditemukan jawabannya dengan banyak sekali terjadinya peristiwa “tueng bila” dari pihak keluarga korban, sebagai reaksi atas harga diri keluarga terhadap pelaku. Hal ini apabila perkaranya tidak diajukan dan diproses secara adil oleh uleebalang.

Kesusilaan Ketika Kesultanan Aceh

Ketika masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda bertahta, disebutkan beliau pernah melegalisasikan pengeksekusian terhadap anaknya karena terbukti melakukan “perzinahan” dengan amar putusan vonis mati. Eksekusi terhadap anaknya yang bernama Meurah Pupok, memang benar-benar dilakukan dan makamnya dapat disaksikan di komplek Kerkhop atau perkuburan Belanda di Banda Aceh hingga saat ini.
Dari peristiwa pengeksekusian ini lahir ungkapan Hadih Maja “matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” artinya, mati anak tahu di mana kuburnya, hilang adat-istiadat kemana dicari. Hal ini menunjukkan “supremasi” hukom ditegakkan secara baik dan benar di Kesultanan Aceh. Jika diteliti lebih lanjut yang merujuk dari catatan van Langen, menyebutkan pada zaman dahulu di Aceh, terdapat dua jenis hukuman terhadap para “penjahat kelamin” ini, yaitu; 1) perempuan pelaku perzinahan dihukum dengan ditelentangkan di dalam sungai, di mana sebatang bambu diletakkan pada leher perempuan itu, lalu kedua ujung bambu diinjak dua orang “rakan” atau petugas uleebalang sampai perempuan itu tewas “tercekik”. Namun, kadangkala perempuan-perempuan itu sudah terlebih dahulu “disingkirkan” sendiri oleh keluarganya setelah laki-laki teman kencannya juga dibunuh. Hal ini tentu saja berlaku, apabila menyangkut masalah antarpribadi, bukan pada ranah kesusilaan publik.

Pada tataran publik, apabila diketahui seseorang perempuan “mumee” atau hamil padahal diketahui belum pernah bersuami atau seorang janda yang telah lama ditinggalkan suami atau suaminya telah meninggal dunia, maka pihak uleebalang akan menyelidiki dengan cara melacak siapa yang telah melakukan perbuatan yang bervonis “hukuman mati” dengan “diceukik” atau “direundam” itu, namun kadangkala kasus ini juga dapat “diselesaikan” secara “adat” dengan membayar uang denda, asal saja bukti-bukti “fisik” dapat “dilenyapkan”, seperti misalnya dengan pengguguran kandungan ataupun pelaksanaan “wajib menikah” yang diselengarakan dengan koordinasi uleebalang.

Inong Aceh Di Ranah Adat

Dalam kasus perzinaan pada masa lalu, apabila tidak ada yang mampu membayar denda, maka hukom adat yang akan memproses pelanggar norma kesusilaan ini. Tindakan yang diberlakukan terhadap kejahatan ini antara lain, berupa pencambukan sebanyak 50 kali pukulan cambuk ataupun dapat lebih banyak lagi. Eksekusi ini dilaksanakan oleh “kawom rakan” uleebalang di depan publik di mana daerah peristiwa itu terjadi. Biasanya eksekusi dapat dilakukan dengan cara menggantungkan pelaku di atas pohon dengan ikatan tali di bawah kedua ketiaknya atau dengan hukuman penjemuran sepanjang hari di terik panas matahari, atau dibaringkan dengan badan terikat sepanjang malam di sarang nyamuk atau sarang semut api. Namun, setiap daerah di Aceh, dapat berbeda penerapannya hukuman ini, yang merujuk pada vonis oleh masing-masing uleebalang.

Dalam suatu kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penganiayaan perempuan, biasanya dilakukan vonis adat dengan cara si pelaku ditunggangkan di atas punggung kerbau, lalu diarak dengan diiringi oleh publik yang bersorak-sorai dan mencemoohkannya. Vonis ini sering diterapkan di daerah pesisir Barat Aceh, seperti di Kluet, ketika terjadi suatu kasus pelanggaran termasuk perzinaan. Bahkan dalam penerapan vonis terhadap pelaku, ada daerah yang lebih ektrim menerapkan hukumannya menurut Snouck, seperti di uleebalang Teunom yang pernah memberlakukan vonis dengan cara “mutilasi” organ vital pelaku yang dieksekusi langsung oleh korban di pihak perempuan. Di balik kerasnya penerapan hukuman terhadap pelaku amoral seperti di atas, namun lama-kelamaan vonis seperti ini hanya dilakukan kepada pelaku yang tidak sanggup membayar denda, sehingga masyarakat semakin hari semakin kurang menjunjung tinggi nilai hukom dan adat yang berlaku di sana.

Sejarah mengakui, ada sebagian uleebalang yang tidak konsisten dalam menerapkan hukom di daerahnya, seperti mayoritas penerapan hukuman mati bagi pelaku yang kurang mampu dan penerapan denda yang sangat tinggi kepada orang yang dinilai mapan. Pada tataran ini hukom tidak lagi berlaku adil dan berfungsi sebagai panglima karena uleebalang cenderung menerapkan hukom dan adat ibarat “filosofi pedang “ tajam ke bawah, tumpul ke atas karena yang dikejar para uleebalang hanya materi saja, sehingga “supremasi” hukom dan adat yang selama ini dijunjung tinggi masyarakat lambat-laun semakin melemah posisinya di Aceh.

Inong Suwang Di Ranah Kontemporer

Masyarakat Aceh seakan mengalami dikotomi ketika menyikapi persoalan perempuan dalam keterlibatannya di dunia pelacuran dan perzinaan. Di satu sisi sudah ada rancangan qanun atau undang-undang pelarangan pelacuran, tetapi di sisi lain dianggap sebagai sesuatu realitas memang tak dapat dihindari. Realitas yang ada di dalam masyarakat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan keberadaan “inong suwang” di “Seramoe Mekah” pada saat ini adalah fenomena yang harus segera diminimalisasi agar tidak berkembang menjadi “penyakit masyarakat” kronis di kemudian hari.

Di “Seuramo Mekkah”, daerah yang terkenal sangat religius ini, realitas “inong suwang” secara tidak langsung dapat mencoreng citra Aceh yang sejak lama telah menerapkan Syariat Islam. Kenyataan ini merupakan paradoks di tengah semangat penerapan Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) karena perbuatan yang dikategorikan maksiat ini ternyata masih ada di Aceh bahkan disinyalir dilakukan oleh perempuan dari etnis Aceh. Dilema ini terjadi dalam masyarakat Aceh, namun hukom dan adat yang berlaku kepada pelaku perzinaan dan sejenisnya, harus tetap ditegakkan di tengah maraknya proses globalisasi yang terjadi saat ini. Berbagai isu gender dan pelanggaran hak azazi manusia sempat membuat penegakan syariat Islam di Aceh sehingga menjadi “abu-abu” atau ragu-ragu untuk diterapkannya. Akibatnya, pada satu sisi ingin menegakkan Syariat Islam, tapi pada sisi lain pemerintah takut juga akan melanggar hak-hak azazi manusia.

Penutup

Fenomena “inong suwang” di dalam masyarakat Aceh saat ini dapat merusak citra “inong Aceh” yang telah harum namanya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tren negatif ini harus segera diminimalisasi agar tidak berkembang menjadi “penyakit masyarakat” kronis pada masa depan yang akan merusak jatidiri daerah dan bangsa. Posisi dilematis “inong Aceh” yang secara historis terjaga oleh kekuatan hukom dan adat terhadap kesucian, kehormatan dan martabatnya. Namun sebaliknya, fenomena atau gejala “degradasi” norma dan nilai dalam masyarakat Aceh, khususnya kaum perempuan semakin merajalela, justru pada era Syariat Islam telah berjalan di daerah ini. Pada saat ini, jatidiri “Inong Aceh” mengalami berbagai “trouble”, paling tidak dalam beberapa kasus “miring” yang sempat menggemparkan media massa lokal dan nasional, artinya mereka kehilangan identitas seperti yang pernah tercatat di dalam sejarahnya. Kini justru fenomena hedonisme yang kian menggelayuti era globalisasi ini yang terlihat dengan performa mereka di tempat-tempat publik yang berasimilasi dengan lawan jenis dengan mengabaikan jatidiri “Inong Aceh” yang berbudaya islami dan sopan santun yang luhur.


Pengaburan jatidiri “inong Aceh” ini, terrepresentasikan dalam beberapa kasus “miris” baik yang dipublikasi oleh media massa, maupun “kejahatan” dunia cibernetik yang semakin mengubah image dari perempuan Aceh dari positif ke negative, berdasarkan beberapa perilaku yang terdokumentasikan di media massa. Image positif “inong Aceh” seperti yang telah dicatat dalam catatan sejarah pada masa lalu, baik yang ditulis oleh van Langen maupun Christian Snouck Hurgronje dalam karya-karya historis dan antroplogis tentang masyarakat Aceh pada masa lalu semakin hilang, hal ini kian menabalkan citra “degradasi image” itu.

Saat globalisasi ini, dunia berubah secara drastis, namun citra “Inong Aceh” harus tetap terjaga, baik martabat maupun kesetaraannya dengan kaum laki-lakinya. Kesetaraan ini masih dapat terus dilestarikan karena sesungguhnya di dalam masyarakat Aceh tidak ada jurang perbedaan di antara keduanya, seperti dalam ungkapan yang lazim kita dengar pada setiap acara duek pakat gampong atau musyawarah kampung, di mana ungkapan kesetaraan itu dapat selalu dapat didengar di dalam forum bersama yang berbunyi “kawom mak nyang meutuwah, kawom ayah nyang meubahgia” artinya “kaum perempuan yang bermartabat, kaum laki-laki yang berbahagia” adalah penjelasan detail pada kesetaraan gender dan penghargaan yang sangat tinggi bagi perempuan di Aceh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar