Teuku dan Cut Aceh dari Waktu ke waktu
DI ACEH, banyak
kita temui orang-orang yang memiliki embel-embel "CUT atau TEUKU"
yang terletak diawal namanya. Biasanya, Cut ini melekat pada nama wanita dan
Teuku untuk pria., seperti Cut Safitri, Teuku Mulkan, Cut Lia, Teuku Hafas,
dll. Gelar ini bukanlah gelar yang bisa dengan tiba-tiba saja muncul , tapi Cut
dan Teuku ini menjadi simbol yang menunjukkan bahwa seseorang itu memiliki
garis keturunan yang erat dengan kerajaan Aceh dulu. Jika di Jawa, kita
mengenal Raden sebagai panggilan bagi seseorang yang memiliki darah bangsawan,
maka di Aceh kita kenal dengan sebutan Cut dan Teuku ini
Teuku dan Cut ini merupakan
gelar yang diberikan berdasar sistim monarki yang ada di Aceh dulu
sebagai garis keturunan dari Ulee Balang Kerajaan Aceh. Teuku adalah
sebuah gelar ningrat atau kebangsawanan, khusus untuk kaum pria suku Aceh yang
memiliki kekuasaan memimpin wilayah nanggroe atau kenegrian. Gelar Teuku bersifat
turun menurun, seorang anak laki-laki diberi gelar Teuku, bilamana ayahnya juga memiliki gelar Teuku. Seorang Teungkudapat
pula berubah menjadi Teuku, apabila
jabatan keagamaannya dialihkan ke jabatan pemerintahan. Seringkali orang
Indonesia salah dalam menuliskannya, misalnya Teungku Umar, padahal seharusnya Teuku Umar.
Sedangkan Cut diperuntukkan
untuk kaum perempuan. Gelar ini diturunkan sampai ke anak cucunya jika
perempuan bangsawan tersebut menikah dengan laki-laki dari kalangan bangsawan
juga, yang bergelar Teuku.
Dulunya, bagi para
bangsawan Aceh sangat penting untuk mempertahankan garis keturunan mereka ini.
Agar keturunan mereka tetap memiliki gelar "Teuku dan Cut", seorang
Teuku harus menikahi seorang Cut atau menikahi wanita yang bukan Cut namun harus
memiliki akhlak yang baik dan taat pada agama. Begitu pula dengan seorang Cut,
seandainya saja dia tidak menikahi seorang Teuku, maka gelar bangsawan pada
keturunannya akan hilang.
Seorang yang memiliki gelar
Teuku dan Cut dipandang baik oleh masyarakatnya. Karena mereka secara strata
memiliki derajat yang tinggi, berpendidikan dan sangat taat pada agama. Teuku
zaman dulu sangat alim dan memiliki wawasan yang sangat luas, terlebih lagi
dalam membangun Aceh. Begitu pula dengan Cut, seorang Cut dulunya memiliki sikap
yang begitu mengagumkan, lemah lembut namun tegas dalam membina dan mengatur
rumah tangganya.
Namun, seiring dengan
perkembangan zaman dan tenggelamnya kerajaan-kerajaan Aceh. Keadaan strata
sosial ini pun berubah. Keturunan para Teuku dan Cut memang masih banyak
tersebar di seluruh penjuru Aceh, bahkan hingga keluar Aceh. Namun,
kedudukannya tidaklah sama seperti dulu. Pergeseran nilai-nilai adat pun mulai
terjadi, dari era tradisional menjadi era modern seperti saat ini. Sudah banyak
kalangan Cut dan Teuku yang tidak lagi menerapkan tradisi dan tata cara yang
dilakukan oleh orang-orang yang terdahulu. Bahkan dalam pernikahan pun, Teuku
dan Cut banyak yang sudah tidak melakukan pernikahan dengan gelar yang
sestrata. Mereka bisa bebas menikah dengan orang pilihannya, walaupun tidak
memiliki gelar yang sama. Dengan resiko, gelar tersebut akan hilang pada
generasi keturunannya.
Bukan hanya itu, efek dari
pergeseran nilai ini pun berpengaruh pada pembentukan sikap, perilaku , serta
kedudukan keturunan Teuku dan Cut generasi modern ini. Jika dulu keturunan ini
dipandang mulia oleh masyarakatnya sebagai bagian dari para bangsawan Aceh,
saat ini keturunan Cut dan Teuku ini hampir bisa disamakan dengan kalangan
masyarakat biasa yang tidak memiliki gelar itu, tidak ada lagi strata sosial
yang menjadi pembatas. Tidak seperti di Jawa, yang gelar bangsawan atau
"darah birunya" masih melekat erat dan sangat diagungkan serta
dihormati oleh masyarakatnya. Terlebih lagi di Keraton Yogyakarta, yang masih
dengan kental mempertahankan adat turun temurunnya.
Memang, ada sebagian
golongan Teuku dan Cut ini yang masih dimuliakan dan dihormati masyarakat
Aceh, terlebih bagi mereka yang memiliki kedudukan penting dalam
pemerintahan, masyarakat ataupun dalam agama. Namun, banyak juga keturunan ulee
balang ini yang saat ini justru malah mencoreng marwah dari garis keturunan
mereka sendiri. Tingkah laku Teuku dan Cut Aceh "sebagian" tidak
mencerminkan dan meneladani tingkah para bangsawan Aceh terdahulu, baik dari
segi moral dan agama. Terlebih lagi pada kebanyakan generasi-generasi
saat ini, sifat kebagsawanan tak lagi melekat padanya.
Pengaruh modernisasi mulai
mengikis nilai-nilai strata sosial monarki yang ada di Aceh. Keberadaan Teuku
dan Cut mulai kehilangan "ruh"nya. Tidak ada perbedaan mendasar
antara keturunan dari golongan Cut dan Teuku ini dengan masyarakat pada umumnya
selain hanya pada gelar di nama dan darah saja. Aceh mulai kehilangan entitas
budaya yang selama berabad-abad dulu pernah jaya.
Apalagi saat ini, banyak
Teuku dan Cut menjadi artis yang dengan jelas menonjolkan
"KeAcehan"nya, lantas bertingkah yang tak wajar dan tak pantas
sehingga nama Aceh tercoreng. Nama Cut dan Teuku justru dijadikan sebagai
alat untuk menjual dan promosi diri menjadi "babu seni".
Alangkah baiknya, dengan
gelar tersebut, jadilah bangsawan yang tetap mempertahankan marwah Aceh...Aceh
dikenal dengan ketegaran dan keagungan para Teuku dan Cut.
Karena itu bukan hanya
sekedar gelar...!
SUMBER :
http://mudabentara.wordpress.com/2008/06/04/tentang-sejarah-uleebalang-teuku-dan-cut/
http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/14/cut-cinta-untuk-teuku/
http://blogpejantantanggung.blogspot.com/2011/05/9-gelar-dalam-kerajaan-aceh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar