Perempuan Aceh Di Sepanjang Kisah:
Dari Fenomena “Inong Aceh” Hingga “Inong Suwang”
“Tajok
umong bak nyang tem meugoe; tajok inong bak nyang tem wo”
“berikan sawah kepada yang mau
menggarapnya, berikan istri kepada suami yang mau pulang”
“Ta
keumeung meugo ta kalon umong, ta keumeung meukawen ta kalon inong”
artinya, kalau ingin bertani lihat
dulu sawahnya; ingin berumahtangga lihat dulu perempuannya.
“napsu ke
kaya ta jak ceumatok, napsu keu krek-krok meukawen dua”
ingin berkecukupan pergilah
menggarap sawah, ingin mencari keributan beristrikan dua
Pendahuluan
Belum lama ini provinsi Aceh pada
satu sisi menorehkan “tinta emas” dalam sejarah pemilihan “Puteri Indonesia”,
di mana Qory Sandioriva seorang “perempuan Aceh” kelahiran Jakarta pada 17
Agustus 1991, terpilih menjadi jawara di ajang yang diproyeksikan ke perebutan
menjadi “Miss Universe” pada level internasional. Pada sisi lain, hal ini
menjadi preseden “buruk” bagi Aceh, di mana Aceh sedang menerapkan pemberlakuan
syariat Islam sedangkan “pakaian” yang dipakai sang putri tidak menggambarkan
syariat Islam karena melepaskan jilbab sebagi penutup auratnya. Berbagai pro
dan kontra terjadi di “Tanoh Reuncong”. Di mana klaim ulama dan mahasiswa Islam
yang “mengkritisi” puteri tersebut karena tidak menggunakan “jilbab”, namun
umara ditenggarai sebagai pihak yang telah memberikan “support” dan
memperbolehkan “menanggalkan jilbab” bagi sang putri pada ajang yang berlevel
nasional dan diikuti sebanyak 38 peserta dari 33 provinsi tersebut. Kisah ini
menggambarkan sekilas polemik tentang “image” perempuan di Indonesia khususnya
di Aceh.
Dalam kurun waktu lebih dari 64
tahun ini, ternyata bangsa kita masih saja dirundung berbagai persoalan krusial
menyangkut pergulatan martabat bangsa, salah satunya adalah masalah perempuan
Indonesia yang masih mengalami berbagai “diskriminasi” dalam kiprahnya di
dunia, seperti pelecehan terhadap TKW yang bekerja di luar negeri. Akibatnya
banyak aktivis perduli perempuan sangat gigih memperjuangkan kesetaraan gender
di Indonesia. Di sisi lain, perdebatan mengenai penciptaan “image” terhadap
berbagai aksi perempuan Indonesia masih saja terjadi, di antaranya yang masih
diperdebatkan adalah masalah penggunaan “bikini” oleh jawara Putri Indonesia
2008, Zivanna Lethisa Siregar pada ajang Miss Universe 2009 di Nassau, Bahama
yang ditonton oleh publik di seluruh Indonesia. Begitu juga polemik baru akan
terjadi di Aceh, dengan terpilihnya “Putri Indonesia” dari provinsi ini, yang
nantinya tentu saja diproyeksikan ke ajang “Miss Universe”.
Sementara itu di provinsi Aceh
banyak juga persoalan menyangkut perempuan menjadi sorotan. Di antara
permasalahan perempuan yang sempat mencuat ke permukaan seperti dilangsir oleh
beberapa media massa sejak pada periodisasi konflik hingga pascas mong.
Berbagai kisah “caboi” atau cabul yang sempat dimuat di media massa lokal dan dunia
cibernetik di Aceh menunjukkan degradasi moralitas masyarakat yang “notabene”
melibatkan perempuan Aceh sebagai “sasaran empuk” atau pihak yang selalu
dirugikan dan pihak yang selalu harus mampu menjaga kesucian, martabat, dan
marwah keluarga besarnya.
Pada sisi lain pergeseran nilai di
dalam masyarakat Aceh, merunut catatan sejarah yang pernah ditulis
peneliti-peneliti dari Barat tentang “inong Aceh” dan berita-berita media massa
lokal dan nasional saat ini tentang perilaku “inong suweng” menunjukkan tren
“menaik” seiring dengan relasitas zaman yang menuntun terhadap perubahan image
dari segelintir perempuan Aceh yang terus mengikuti tren global yang kian
menisbikan sekat-sekat budaya. Perempuan Aceh terus mengalami kontak-kontak
dengan budaya luar pada saat Aceh terbuka bagi pergaulan nasional maupun
transnasional sejak dari pengaruh Hindu, Budha, Islam, kolonialisasi Barat,
zaman kemerdekaaan, zaman setelah kemerdekaaan, masa konflik dan pascasmong
hingga saat ini.
Pada era globalisasi ini, sudah tidak
bisa membedakan antara tren atau jatidiri di antara perempuan-perempuan di
nusantara maupun di dunia, akibat modernitas di segala lini. Saat ini, tidak
bisa lagi memebedakan performa perempuan Aceh dengan perempuan lainnya di
nusantara seperti perempuan Medan, Padang, Malaysia, Singapore, Eropa,
Australia, Amerika ataupun Eropa pada saat ini. Semua berferma sama, bertingkah
polah sama serta berwajah dan berkostum hampir sama pula. Hanya satu hal yang
masih tersisa dari perempuan Aceh, yaitu pakaian adat yang dipakainya pada saat
pernikahan, selebihnya perempuan Aceh sudah tak bisa dikenali dalam tata
pergaulan sehari-hari, kecuali di bawah naungan “jilbab” dan pakaian yang kian
modis.
Inong Aceh Pada Masa Lalu
Flashback pada abad ke-13,
pencitraan terhadap perempuan Aceh menunjukkan masa “golden age” atau mengalami
masa kejayaannya, yaitu ketika kerajaan Samudra Pasai. Di mana ditemukan banyak
makam yang sangat indah dengan ukiran dan syair-syair yang ditatah rapi seperti
pada nisan Ratu Nahrasyiah dan lain-lain. Pada periodisasi sejarah selanjutnya,
yaitu ketika masa Kerajaan Aceh Darussalam, seperti yang dituturkan dalam kitab
Bustanussalatin menyebutkan adanya Taman Ghairah, yang di dalamnya terdapat
Taman Sari, Pinto Khop dan monumen Gunongan. Bangunan monumental ini, khusus
dipersembahkan kepada permaisuri Sultan Iskandar Muda yaitu Putroe Phang
sebagai rasa cinta yang menggelora yang direpresentasikan dalam bentuk monumen
berdiorama seperti gunung-gunung yang dapat ditelusuri dengan menaiki
tangga-tangga yang sangat ekstrim dengan lorong yang sempit untuk menaiki ke
atasnya.
Ketika periodisasi selanjutnya, di
masa perjuangan dalam mempertahankan eksistensi kerajaan Aceh, peran “inong
Aceh” juga tidak dapat dikesampingkan dibandingkan kaum laki-lakinya. Hal ini
dapat dibaca dengan hebatnya sepak terjang pasukan yang sangat terkenal
ketangguhannya. Tersebutlah laskar “inong balee” atau “perempuan janda” yang
dipimpin oleh seorang laksamana perempuan yang bernama Keumalahayati ketika
mempertahankan eksistensi dan hegemoni kerajaan Aceh melawan ekspansi pasukan
angkatan laut Portugis sampai ke selat Malaka. Hal ini diperkuat dengan
ditemukannya sebuah kuta (benteng) yang saat ini dikenal dengan Benteng Inong Balee
yang terdapat di sebuah semenanjung Krueng Raya di tepian selat Malaka.
Selanjutnya, setelah “Treaty of
London” pada tahun 1824 yang menggiring Aceh dalam konfrontasi dengan Belanda
atas kedaulatannya di Sumatera. Selanjutnya ketika Perang Aceh berkecamuk
melawan ekspansi Belanda di Aceh yang dimulai pada paruh akhir tahun 1873.
Perang ini disebut sebagai perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah
Indonesia dan telah menewaskan lebih dari 2.200 orang pasukan di bawah naungan
bendera kerajaan “oranye” tersebut. Di pihak kerajaan Aceh sendiri, banyak
sekali panglima-panglima terbaik dan pasukan Aceh yang mengalami syahid.
Sebagian di antara mereka diinternirankan ke pulau Jawa, Sulawesi dan Maluku
bahkan ke luar negeri. Namun hal ini ternyata tidak menyurutkan perlawanan
rakyat Aceh dengan tampilnya pemimpin pasukan dari kaum perempuan Aceh ke medan
pertempuran melawan para “marsose” Belanda. Saat menjelang Sultan Aceh yang
terakhir Sultan Muhammad Daudsyah dipaksa menyerah kepada Belanda di Pidie pada
tahun 1903, perjuangan dari para perempuan ini menampakkan ekskalasi yang
semakin mencuat, khususnya dalam beberapa perang gerilya di pedalaman Aceh.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal
abad ke-20, tampillah pejuang-pejuang “Inong Aceh” ke medan pertempuran. Di
antara tokoh perempuan tersebut terdapat sederetan nama seperti Pocut Meligou,
Cut Meutia di pesisir Utara Aceh, yang berakhir syahid dalam pertempuran di
Batee Iliek dan di hulu Krueng Keureuto. Di pesisir Barat, Cut Nyak Dien
mengambil alih sisa-sisa pasukan Teuku Umar, setelah beliau tertembak di Suak
Sikee, Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1889. Perjuangan gerilya dipimpin oleh
“inong Aceh” termasyhur ini hingga bertahun-tahun sampai beliau ditangkap pada
usia yang sangat renta di hulu Krueng Manggi Aceh Barat. Sampai ditangkap,
beliau tetap tidak mau tunduk terhadap kolonial Belanda sehingga kemudian
diasingkan ke Sumedang Jawa Barat dan meninggal dunia di sana.
Pada masa penerapan linie
konsentrasi, “Inong Aceh” ternyata juga tidak surut di dalam bergerilya. Di
antaranya adalah perlawanan Inen Manyak Teri di pedalaman Aceh Tengah, pasca
suaminya dibunuh di depan matanya sendiri dalam suatu sweeping marsose Belanda
ketika dalam perjalanan menuju daerah Serbajadi. Selanjutnya perlawanan “inong Aceh”
yang juga cukup tangguh, yaitu Pocut Baren yang berakhir hingga beliau syahid
di hulu Krueng Ceuko Aceh Barat yang juga menunjukkan bahwa eksistensi “inong
Aceh” dalam melawan kolonialisasi kaphe-kaphe “Barat” (Eropa) masih tetap
menggelora setelah panglima perang laki-laki banyak yang terbunuh atau
ditangkap Belanda.
Pada masa Jepang dan
pascakemerdekaan, peranan perempuan seakan mulai mengalami “degradasi”, dan
kian mengalami fluktuasi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Puncaknya adalah
ketika konflik dan pasca reformasi tahun 1998, di mana pada saat itu, ada juga
perempuan Aceh yang mencoba mendobrak zaman, vis a vis dengan “negara”,
sehingga bermuara pada “pembungkaman suara” atau “su inong Aceh” saat itu, yang
menyeretnya ke penjara.
Pasca gempa bumi dan smong, “inong
Aceh” mulai bersentuhan dengan berbagai budaya luar yang datang ke Aceh ketika
masa tanggap darurat. Pada saat itu justru mereka seakan terbias dalam ektase
kehidupan dalam tata pergaulan dunia global yang semakin mengaburkan identitas
dan spesifikasi mereka menjadi bagian dari globalisasi yang tak mungkin
terelakkan. Kini “inong Aceh” sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
tata pergaulan pada level nasional maupun internasional termasuk di dalam tren
yang mengilhami kehidupannya.
Berdasarkan Hadih Maja atau untaian
kata berfilosofis yang berkembang pada masa lalu seperti yang telah dituliskan
di atas, merepresentasikan tentang kesiapan seseorang laki-laki dan perempuan
di Aceh di dalam berumah-tangga, agar nantinya keluarga tidak berantakan dan
perempuan yang dikawini tidak menjadi terlantar akibat konsekuensi yang
diambilnya. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menjaga kesucian, kehormatan
dan martabat yang tinggi para perempuan dengan perlindungan hukom dan adat yang
berkembang di dalam masyarakat. Namun saat ini predikat martabat yang tinggi
serta kemuliaan “inong Aceh” semakin menjadi “tanda tanya” seiring semakin
maraknya eksploitasi mode dan tren yang merubah attitude mereka menjadi bagian
dari dunia global yang menghilangkan identitas dan kekhasan yang mereka miliki.
Bukan hanya di ranah performa, tapi moralitas mereka juga terimbas budaya
global, akibatnya justru mengekploitasi attitude mereka sendiri, baik yang
disebabkan oleh individu maupun orang lain yang menjerumuskan mereka. Penerapan
Syariat Islam yang diidamkan-idamkan semenjak setelah kemerdekaan dengan
berbagai deraan konflik, telah diberikan untuk negeri “Seuramo Mekah”. Syariat
Islam ini telah diakui sejak beberapa tahun yang lalu, namun identitas “inong
Aceh” justru semakin menjauhi dan mengalami “imagine” atau dapat disebut seperti
“antara ada dan tiada” di tengah derasnya arus globalisasi di Aceh saat ini.
Setelah lebih setengah abad, kiprah
perempuan Indonesia di alam kemerdekaan masih sangat menarik untuk
diperbincangkan, menyangkut posisi mereka di dunia yang sedang gencar-gencarnya
menjadi sorotan dan bahan perdebatan, baik mengenai kesetaraan gender maupun
eksploitasi yang dialaminya. Di berbagai belahan dunia yang mendayagunakan
resources mereka, baik di luar maupun di dalam negeri sendiri terjadi berbagai
persoalan yang muncul terhadap perempuan di seluruh wilayah negara kepulauan
ini. Di antara kasus-kasus miris yang mengemuka adalah masalah perselingkuhan,
trafiking (trafficking), pelecehan seksual, eksploitasi seksualitas seperti di
tabloid, majalah label XXX, film label XXX, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), peredaran narkoba, baik jaringan nasional maupun internasional.
Di sisi lain, di ranah kesusilaan
maraknya keterlibatan perempuan dalam dunia pelacuran dan perzinaan di dalam
kehidupan masyarakat global ini, baik yang dilakukan perempuan nonpendidikan
maupun perempuan yang berpendidikan. Memang fenomena ini tidak mengenal level
kehidupan, karena kisah klasik ini ditengarai telah terjadi sejak manusia mulai
beraktivitas dalam dunia pergaulan “inong dan agam” di planet yang bernama
Bumi. Mengenai kapan, di mana dan bagaimana profesi ini awalnya dilakukan,
tidak ada satu catatan sejarah pun yang dapat ditemui atau dikenal secara luas.
Sehingga dapat dikatakan, bahwa profesi ini tidak mengenal perbedaan spasial
dan temporal karena hampir semua daerah baik di perkampungan maupun perkotaan
masih saja ada aktivitas negatif dengan berbagai modus, operandi, baik yang
berkedok tempat pengobatan tradisional, salon, dan tempat-tempat aroma terapi
sampai traditional massage yang ujung-ujungnya melayani praktek “caboi” juga.
Hal inilah yang memunculkan image “inong suwang” atau “perempuan nakal”
terhadap segelintir perempuan termasuk di Aceh.
Beberapa kisah “inong suwang” atau
perempuan pekerja seks komersial di Aceh, yang menarik dicermati adalah
peristiwa penggundulan rambut mereka yang pernah dilakukan di depan Mesjid
Baiturrahman Banda Aceh yang dilakukan pada tanggal 5 Desember 1999 dan disusul
beberapa bulan kemudian terjadi penangkapan terhadap 12 perempuan malam di
sebuah hotel di Banda Aceh pada 18 Maret 2002. Realitas perempuan pekerja seks
komersial dianggap dapat mencoreng citra Aceh yang sejak lama telah menerapkan
Syariat Islam di wilayahnya dengan dideklarasikan kembali pada tanggal 14 Maret
2002 oleh gubernur saat itu, Abdullah Puteh. Namun kenyataan keberadaan mereka
memperlihatkan paradoks di tengah semangat penerapan syariat secara massif,
karena perbuatan yang dikategorikan maksiat ini ternyata ada di Aceh bahkan
disinyalir dilakukan oleh perempuan dari etnis Aceh. Setelah gempa bumi dan
smong melanda Aceh, ternyata kisah miris perempuan Aceh dalam dunia kesusilaan
yang menampakkan gejala semakin degradasi moral masyarakat Aceh pada saat
globalisasi ini seperti yang terdeteksi dalam beberapa kisah yang terdapat di
media massa maupun dunia cibernetik lokal.
Pada tataran historis Aceh, dunia
pelacuran dan perzinaan yang melanggar norma kesusilaan memang tidak pernah
ditoleransikan. Pada masa lalu, masyarakat Aceh memperlakukan pelaku tindakan
“amoral” ini dengan “sangat keras”, sehingga kasus ini jarang sekali mencuat ke
permukaan seperti saat ini. Menurut Snouck, hukuman perzinaan dilakukan dengan
dua kategori berdasarkan hukom dan adat. Pertama, bagi pelaku perzinaan yang
pernah menikah maka hukumannya akan dirajam sampai mati. Kedua, bagi pelaku
perzinaan yang belum pernah menikah, maka hukumannya akan dicambuk 100 kali,
kemudian terhadap kedua pelaku dilakukan “pengektradisian” atau pengusiran ke
luar daerah paling sedikit selama setahun, hal ini merujuk pada referensi
mazhab Syafiie. Sebaliknya, Snouck juga memaparkan bahwa secara kuantitas,
banyak juga terjadi peristiwa amoral ini di Aceh pada masa itu, namun jarang
muncul ke permukaan karena pelakunya banyak dari kalangan “pejabat” dan
“birokrat” lokal, sehingga menyebabkan sedikit sekali terjadi eksekusi kepada
para pelaku tindakan amoral ini. Hal ini dapat ditemukan jawabannya dengan
banyak sekali terjadinya peristiwa “tueng bila” dari pihak keluarga korban,
sebagai reaksi atas harga diri keluarga terhadap pelaku. Hal ini apabila
perkaranya tidak diajukan dan diproses secara adil oleh uleebalang.
Kesusilaan Ketika Kesultanan Aceh
Ketika masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda bertahta, disebutkan beliau pernah melegalisasikan pengeksekusian
terhadap anaknya karena terbukti melakukan “perzinahan” dengan amar putusan
vonis mati. Eksekusi terhadap anaknya yang bernama Meurah Pupok, memang
benar-benar dilakukan dan makamnya dapat disaksikan di komplek Kerkhop atau
perkuburan Belanda di Banda Aceh hingga saat ini.
Dari peristiwa pengeksekusian ini
lahir ungkapan Hadih Maja “matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita”
artinya, mati anak tahu di mana kuburnya, hilang adat-istiadat kemana dicari.
Hal ini menunjukkan “supremasi” hukom ditegakkan secara baik dan benar di
Kesultanan Aceh. Jika diteliti lebih lanjut yang merujuk dari catatan van
Langen, menyebutkan pada zaman dahulu di Aceh, terdapat dua jenis hukuman
terhadap para “penjahat kelamin” ini, yaitu; 1) perempuan pelaku perzinahan
dihukum dengan ditelentangkan di dalam sungai, di mana sebatang bambu
diletakkan pada leher perempuan itu, lalu kedua ujung bambu diinjak dua orang
“rakan” atau petugas uleebalang sampai perempuan itu tewas “tercekik”. Namun,
kadangkala perempuan-perempuan itu sudah terlebih dahulu “disingkirkan” sendiri
oleh keluarganya setelah laki-laki teman kencannya juga dibunuh. Hal ini tentu
saja berlaku, apabila menyangkut masalah antarpribadi, bukan pada ranah
kesusilaan publik.
Pada tataran publik, apabila
diketahui seseorang perempuan “mumee” atau hamil padahal diketahui belum pernah
bersuami atau seorang janda yang telah lama ditinggalkan suami atau suaminya
telah meninggal dunia, maka pihak uleebalang akan menyelidiki dengan cara
melacak siapa yang telah melakukan perbuatan yang bervonis “hukuman mati”
dengan “diceukik” atau “direundam” itu, namun kadangkala kasus ini juga dapat
“diselesaikan” secara “adat” dengan membayar uang denda, asal saja bukti-bukti
“fisik” dapat “dilenyapkan”, seperti misalnya dengan pengguguran kandungan
ataupun pelaksanaan “wajib menikah” yang diselengarakan dengan koordinasi
uleebalang.
Inong Aceh Di Ranah Adat
Dalam kasus perzinaan pada masa
lalu, apabila tidak ada yang mampu membayar denda, maka hukom adat yang akan
memproses pelanggar norma kesusilaan ini. Tindakan yang diberlakukan terhadap
kejahatan ini antara lain, berupa pencambukan sebanyak 50 kali pukulan cambuk
ataupun dapat lebih banyak lagi. Eksekusi ini dilaksanakan oleh “kawom rakan”
uleebalang di depan publik di mana daerah peristiwa itu terjadi. Biasanya
eksekusi dapat dilakukan dengan cara menggantungkan pelaku di atas pohon dengan
ikatan tali di bawah kedua ketiaknya atau dengan hukuman penjemuran sepanjang
hari di terik panas matahari, atau dibaringkan dengan badan terikat sepanjang
malam di sarang nyamuk atau sarang semut api. Namun, setiap daerah di Aceh,
dapat berbeda penerapannya hukuman ini, yang merujuk pada vonis oleh
masing-masing uleebalang.
Dalam suatu kasus kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dan penganiayaan perempuan, biasanya dilakukan vonis adat
dengan cara si pelaku ditunggangkan di atas punggung kerbau, lalu diarak dengan
diiringi oleh publik yang bersorak-sorai dan mencemoohkannya. Vonis ini sering
diterapkan di daerah pesisir Barat Aceh, seperti di Kluet, ketika terjadi suatu
kasus pelanggaran termasuk perzinaan. Bahkan dalam penerapan vonis terhadap
pelaku, ada daerah yang lebih ektrim menerapkan hukumannya menurut Snouck,
seperti di uleebalang Teunom yang pernah memberlakukan vonis dengan cara
“mutilasi” organ vital pelaku yang dieksekusi langsung oleh korban di pihak
perempuan. Di balik kerasnya penerapan hukuman terhadap pelaku amoral seperti
di atas, namun lama-kelamaan vonis seperti ini hanya dilakukan kepada pelaku
yang tidak sanggup membayar denda, sehingga masyarakat semakin hari semakin
kurang menjunjung tinggi nilai hukom dan adat yang berlaku di sana.
Sejarah mengakui, ada sebagian
uleebalang yang tidak konsisten dalam menerapkan hukom di daerahnya, seperti
mayoritas penerapan hukuman mati bagi pelaku yang kurang mampu dan penerapan
denda yang sangat tinggi kepada orang yang dinilai mapan. Pada tataran ini
hukom tidak lagi berlaku adil dan berfungsi sebagai panglima karena uleebalang
cenderung menerapkan hukom dan adat ibarat “filosofi pedang “ tajam ke bawah,
tumpul ke atas karena yang dikejar para uleebalang hanya materi saja, sehingga
“supremasi” hukom dan adat yang selama ini dijunjung tinggi masyarakat
lambat-laun semakin melemah posisinya di Aceh.
Inong Suwang Di Ranah Kontemporer
Masyarakat Aceh seakan mengalami
dikotomi ketika menyikapi persoalan perempuan dalam keterlibatannya di dunia
pelacuran dan perzinaan. Di satu sisi sudah ada rancangan qanun atau
undang-undang pelarangan pelacuran, tetapi di sisi lain dianggap sebagai
sesuatu realitas memang tak dapat dihindari. Realitas yang ada di dalam
masyarakat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan keberadaan “inong suwang”
di “Seramoe Mekah” pada saat ini adalah fenomena yang harus segera
diminimalisasi agar tidak berkembang menjadi “penyakit masyarakat” kronis di
kemudian hari.
Di “Seuramo Mekkah”, daerah yang
terkenal sangat religius ini, realitas “inong suwang” secara tidak langsung
dapat mencoreng citra Aceh yang sejak lama telah menerapkan Syariat Islam.
Kenyataan ini merupakan paradoks di tengah semangat penerapan Syariat Islam
secara kaffah (menyeluruh) karena perbuatan yang dikategorikan maksiat ini
ternyata masih ada di Aceh bahkan disinyalir dilakukan oleh perempuan dari
etnis Aceh. Dilema ini terjadi dalam masyarakat Aceh, namun hukom dan adat yang
berlaku kepada pelaku perzinaan dan sejenisnya, harus tetap ditegakkan di
tengah maraknya proses globalisasi yang terjadi saat ini. Berbagai isu gender
dan pelanggaran hak azazi manusia sempat membuat penegakan syariat Islam di
Aceh sehingga menjadi “abu-abu” atau ragu-ragu untuk diterapkannya. Akibatnya,
pada satu sisi ingin menegakkan Syariat Islam, tapi pada sisi lain pemerintah
takut juga akan melanggar hak-hak azazi manusia.
Penutup
Fenomena “inong suwang” di dalam
masyarakat Aceh saat ini dapat merusak citra “inong Aceh” yang telah harum
namanya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tren negatif ini harus
segera diminimalisasi agar tidak berkembang menjadi “penyakit masyarakat”
kronis pada masa depan yang akan merusak jatidiri daerah dan bangsa. Posisi
dilematis “inong Aceh” yang secara historis terjaga oleh kekuatan hukom dan
adat terhadap kesucian, kehormatan dan martabatnya. Namun sebaliknya, fenomena
atau gejala “degradasi” norma dan nilai dalam masyarakat Aceh, khususnya kaum
perempuan semakin merajalela, justru pada era Syariat Islam telah berjalan di
daerah ini. Pada saat ini, jatidiri “Inong Aceh” mengalami berbagai “trouble”,
paling tidak dalam beberapa kasus “miring” yang sempat menggemparkan media
massa lokal dan nasional, artinya mereka kehilangan identitas seperti yang
pernah tercatat di dalam sejarahnya. Kini justru fenomena hedonisme yang kian
menggelayuti era globalisasi ini yang terlihat dengan performa mereka di
tempat-tempat publik yang berasimilasi dengan lawan jenis dengan mengabaikan
jatidiri “Inong Aceh” yang berbudaya islami dan sopan santun yang luhur.
Pengaburan jatidiri “inong Aceh”
ini, terrepresentasikan dalam beberapa kasus “miris” baik yang dipublikasi oleh
media massa, maupun “kejahatan” dunia cibernetik yang semakin mengubah image
dari perempuan Aceh dari positif ke negative, berdasarkan beberapa perilaku yang
terdokumentasikan di media massa. Image positif “inong Aceh” seperti yang telah
dicatat dalam catatan sejarah pada masa lalu, baik yang ditulis oleh van Langen
maupun Christian Snouck Hurgronje dalam karya-karya historis dan antroplogis
tentang masyarakat Aceh pada masa lalu semakin hilang, hal ini kian menabalkan
citra “degradasi image” itu.
Saat globalisasi ini, dunia berubah
secara drastis, namun citra “Inong Aceh” harus tetap terjaga, baik martabat
maupun kesetaraannya dengan kaum laki-lakinya. Kesetaraan ini masih dapat terus
dilestarikan karena sesungguhnya di dalam masyarakat Aceh tidak ada jurang
perbedaan di antara keduanya, seperti dalam ungkapan yang lazim kita dengar
pada setiap acara duek pakat gampong atau musyawarah kampung, di mana ungkapan
kesetaraan itu dapat selalu dapat didengar di dalam forum bersama yang berbunyi
“kawom mak nyang meutuwah, kawom ayah nyang meubahgia” artinya “kaum perempuan
yang bermartabat, kaum laki-laki yang berbahagia” adalah penjelasan detail pada
kesetaraan gender dan penghargaan yang sangat tinggi bagi perempuan di Aceh.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya:
Boelach Goehang [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah
Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional
Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan
mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar