Halaman

Rabu, 23 Januari 2013


Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial
Pada Masyarakat Aceh


D
I
S
U
S
U
N

OLEH

NAMA                                              NIM
Muhammad Fajri                            421006007
                            
   JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011-2012


KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang dengan quddrah dan iradah-Nya penulis sudah selesai menyusun makalah dengan judul  Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial Pada Masyarakat Aceh “.
Selawat dan salam penulis sampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, juga sahabatnya yang telah susah payah dalam memperjuangkan Agama Allah di muka bumi ini. Sehingga pada saat ini kita masih merasakan hasil perjuangannya.
Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu Pengasuh Mata Kuliah “ Sosiologi yang telah membimbing penulis dalam upaya menyelesasikan makalah ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kawan-kawan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga makalah ini telah terselesaikan.
            Saya  menyadari bahwa makalah ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu laporan ini masih membutuhkan masukan agar makalah ini menjadi lebih baik dan sempurna. Berkaitan dengan hal tersebut saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing.



Banda Aceh, 28 Mei 2012



Penulis


i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar   ..................................................................................................... i
Daftar Isi  ................................................................................................................. ii

BAB I
Pendahuluan
A.        Latar Belakang............................................................................................... .  1

BAB II
Pembahasan
1.      Pengertian Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial                                        2
2.      Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial di Aceh                                             3
3.      Renungan Terhadap Realitas Sosial Masyarakat Aceh                                     5
4.      Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi                                      6
5.      Sejarah Aceh                                                                                                     11

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan....................................................................................................   12
Daftar Referensi......................................................................................................   14



ii


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.

Dewasa ini hukum sepertinya hanya berjalan ditempat, seperti kita lihat dan perhatikan banyaknya penyimpangan dan pelanggaran hukum walaupun sebenarnya hukum telah dikemas dalam undang-undang.

Banyaknya pelanggaran semakin hari semakin terasa sebagaimana berita- ditelevisi begitu nyaman dengan selalu menjadikan berita pelanggarn hukum sebagai berita utama dikoran.

Berita dikoran misalnya, adanya masyarakat mencuri sandal dan dihukum selama lima tahun penjara, tetapi para koruptor yang apabila mencuri 10 miliyar hanya di hukum satu tahun. Sunguh menggelikan kalau membaca berita di Indonesia ini hokum seperti pincang, pengendalian social seperti tidak terlaksana walaupun terlaksana laksana ada pemihakan kepada yang lebih terhormat.














BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial.

Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial dengan baik.

Prinsip yang bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial. Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai. Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi, status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara. 
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.

Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
a)      Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif).
Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
b)      Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif).
Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.
c)      Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif).
Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti main hakim sendiri.

2.      Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial di Aceh.
a.      Tatanan Sosial di Aceh.
Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Coba Anda identifikasi prasyarat apa saja yang ada pada lingkungan sosial Anda? Prasyarat-prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order).
Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang di atur oleh seperangkat norma dan nilai di istilahkan dengan tatanan sosial. Pada saat kita berbicara tentang tatanan sosial, ada beberapa konsep penting yang perlu di diskusikan yaitu tentang: struktur sosial, status sosial, peranan sosial, institusi sosial, serta masyarakat.
Apabila kita melihat tatanan sosial pada masyarakat Aceh, antara kehidupan Syari’ah dan Percikan Hedonisme maka pada saat itu Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang, termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembangan yang ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dasar pemikiran penegakan syariah di Aceh antara lain diinspirasi oleh realitas politik dan ataupun subtansi keislaman itu sendiri. Pemaknaan bahwa Islam, dalam konteks kajian dijadikan sebagai instrumen yang bertujuan untuk dapat mengantar kehidupan seseorang kepada keselamatan hidup dunia dan akhirat. Merujuk kepada makna akar kata, Islam ia diartikan selamat. Dalam perspektif ini pula siapa yang memiliki komitmen teguh terhadap keislamannya berarti dia telah menyediakan dirinya untuk berada pada posisi kehidupan selamat di dunia dan selamat di akhirat. Penelaahan terhadap Islam akan dapat dikonstruksi lewat pangkajian yang detail akan kandungan Islam yang meliuputi tiga hal pokok penting, yaitu konsep iman, konsep islam serta konsep ihsan. Formulasi ketiga konsep ini berada pada tataran Islam sebagai aqidah, syariah dan akhlak. Kehadiran Muhammad Saw sebagai pengemban risalah Islam itu sendiri adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai dasar tersebut di dalam kehidupan kemanusiaan.

b.      Pengendalian Sosial di Aceh.
Seperti contoh pengendalian sosial di Aceh yaitu provinsi Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) dan sejarahnya. Aceh (sebelumnya dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Aceh) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara

3.      Renungan Terhadap Realitas Sosial Masyarakat Kita Aceh.

Komunitas yang tinggal di Aceh secara defacto maupundejure adalah komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya diukur oleh dunia materi  semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif Islam.

Kalau ini disebut sebagai claim bisa saja ditolak oleh berbagai pihak. Namun sebelum itu diperlukan juga kearifan yang bersahaja, bahwa betapa banyak komunitas kita yang telah mengabaikan nilai-nilai prinsip kehidupan yang telah diterapkan oleh endatu hanya untuk mengejar untuk kepentingan dunia material. Apa yang saya amati adalah, bersamaan dengan sebuah komunitas masyarakat  mengabaikan nilai-nilai tradisi adat-istiadat keacehannya akan memiliki kecenderungan akan dengan sangat mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai hedonistik yang menular dalam berbagai dimensi kehidupan. Kembali kepada nilai tradisi yang berbasiskan syariat akan dapat membentengi diri manusia ke dimensi etis normatif yang diharapkan menjadi role model bagi komunitas lainnya. Dari sisi ini tugas dan tanggung jawab komunitas yang menjunjung tinggi nilai syariat itu menjadi sangat spesifik. Sehingga ia tidak mudah disetrum oleh segala bentuk paham ataupun aliran yang dapat menggerogoti nilai-nilai normatif yang dianut.
Bagaimanapun juga kesenangan, kebahagiaan semu tanpa disertai dengan pertimbangan nilai-nilai normatif moral keberagamaan yang dijadikan sebagai orientasi hidup adalah langkah keliru. Kalau saja dapat dipahami bahwa prinsip dasar hedonik sebagai bentuk kondisi sosial duniawi yang tak terbantahkan, sudah saatnya kita mereview kembali apa yang diisyaratkan Abu Hurairah ra sebagai hadis Nabi Saw, beliau bersabda bahwa: inn al-dunya mal’unat mal’un wama fiha, illa ndzikr Allah wama wa Lahu, wa ‘alimun, wa mutaalimun (hr Ahmad). Apa yang dapat dipetik dari sabda tersebut, bahwa duniawi ini adalah terlaknat termasuk segala isinya  kecuali orang yang berdzikir (ingat) kepada Allah, orang yang berilmu (tambahan di hadis lain mengamalkan ilmunya) dan orang yang belajar.
Ya, kita dapat memahami, bahwa dunia ini penuh tipu daya karena itu dia terlaknat. Kalau kita tidak arif menyikapi dunia beserta segala isinya tentu kita akan diperbudak oleh dunia, disinilah posisi duniawi itu terlaknat. Diharapkan hanya mereka yang berdzikir, memiliki ilmu serta belajarlah yang mampu menahan serta menselaraskan kehidupan duniawi penuh tipu daya ini diolah menjadi sebuah kebajikan, karena prilaku kita di dalam pemanfaatan duniawi ini diredhai oleh Allah. Bukankah redha ilahi itu menjadi urgen bagi menusia yang mengedepankan nilai-nilai normatif keberagamaan di dalam kehidupannya.Terkait dengan hedonisme, tentu saja kita tidak dapat pungkiri menjadi trend kehidupan komunitas hari ini. Ini tidak lebih karena kepribadian yang telah mentuhankan dunia meterial sebagai tujuan hidup. Dalam posisi ini diperlukan kearifan kembali kepada nilai-nilai tradisi adat istiadat serta nilai normatif keberagamaan dalam dimensi ferennial dapat membentengi diri terhindar dari pengaruh hedonik.

4.      Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi.

   Seorang ahli sosiologi Gerhard Lenski (1985), mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang analisis yaitu:
Ø Mikrososiologi, menurut Lenski yaitu bagian sosiologi yang mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada individu. Sedangkan menurut Collins yaitu bagian sosiologi yang melibat analisis rinci mengenai apa yang di lakukan, di katakan, dan di pikirkan manusia dalam laju pengalaman sesaat.
Maksud dari kedua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa Mikrososiologi ialah menyelidiki berbagai pola pikiran dan prilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil. Orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai sosiolog mikro tertarik kepada berbagai gaya komunikasi verbal dan non verbal dalam hubungan sosial face-to-face, proses pengambilan keputusan oleh para hakim, formasi dan integrasi kelompok perkawanan, dan pengaruh keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok terhadap pandangan dunianya.[1]
Mikro pada tingkat perubahan sosialnya  lebih kepada keteraturan yang berasal dari tekanan internalisasi dan bersifat individual, yang berarti bahwa keteraturan berasal dari negosiasi individual.[2]
Ø Makrososiologi, menurut Lenski yaitu bagian sosiologi yang mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh serta sistem masyarakat dunia. Sedangkan menurut Collins yaitu bagian sosiologi yang melibatkan analisis proses sosial berskala besar dan berjangka panjang. Jadi dari kedua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa makrososiologi mempersembahkan segala usahanya untuk mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ia memusatkan perhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya. Seperti ekonomi, sistem politik, pola kehidupan keluarga, dan bentuk sistem keagamaannya. Ia juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi. Banyak sosiolog makro yang membatasi diri mereka dengan hanya mengkaji masyarakat tertentu pada suatu penggalan sejarah tertentu pula. Makro pada tingkat perubahan sosialnya lebih kepada keteraturan secara eksternal yang di ciptakan dan bersifat alamiah, yang berarti bahwa keteraturan di hasilkan oleh fenomena kolektif.
Ø Mesososiologi, menurut Lenski yaitu bagian sosiologi yang tertarik pada institusi khas dalam masyarakat.

Jadi, apabila kita melihat penerapan pembagian makrososiologi, mesososiologi, dan mikrososiologi di Aceh. Kita bisa melihat antara Punk Vs Syari’at Islam di Aceh.
Jika mendengar berita konser punk digerebek oleh polisi barangkali agak biasa, tapi yang membuat berita tersebut luar biasa ialah penggerebekan dilakukan oleh polisi syari’ah (wilayatul hisbah/WH). Hal ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konser musik di Indonesia. Illiza Sa’aduddin Djamal, wakil walikota Banda Aceh yang bertanggung jawab atas penggerebekan tersebut mengatakan bahwa alasan penangkapan ialah karena “punk rock  itu buruk dan tidak sesuai dengan syari’at Islam”.[3]
Dalam insiden tersebut, 65 punk mengalami tindakan kasar dari aparat seperti pemukulan, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penggundulan, dibenamkan ke dalam air dingin, dan ‘pembinaan’ dengan paksa selama 10 hari di camp kepolisian (SPN). Illiza mengatakan bahwa penangkapan dilakukan guna ‘menyelamatkan’ generasi muda Aceh dari ‘perilaku yang negatif.’ Sejak itu pemerintah kota Banda Aceh berjanji akan bekerjasama dengan kepolisian, dan polisi syari’ah untuk terus mencari dan menangkap siapa pun yang menunjukkan identitas punk di wilayah Banda Aceh. Dalam konteks ini, punk di Aceh dipandang sebelah mata. Ia diidentikkan dengan budaya nihilisme, seperti mengkonsumsi narkoba, free-sex, kekerasan, dan kriminalitas. Maka dari itu setiap punk yang ditangkap akan dikirim ke SPN untuk ‘dibina’ agar menjadi ‘anak yang baik’ dan ‘disiplin.’
Tindakan para aparat di Aceh ini telah melanggar hukum dan prinsip hak asasi manusia. Pertama, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kawanan punk tersebut. Kedua, aparat melarang punk yang ditangkap untuk mendapatkan bantuan hukum. Ketiga, pihak aparat bahkan melarang mereka menghubungi orang tua mereka ketika ditangkap. Keempat, mereka dipaksa digunduli dan ‘dibina’ di luar kehendak mereka, dan di’permalukan’ di depan publik. Kelima, kebebasan berekspresi dan berkumpul mereka dibatasi (bahkan dinihilkan). Terakhir, pihak walikota Banda Aceh, kepolisian, dan polisi syari’ah telah melakukan diskriminasi kelompok sosial dimana komunitas punk dituduh bertentangan dengan agama dan syari’at Islam.
Terlepas dari pelanggaran hukum dan prinsip HAM yang dilakukan oleh pihak walikota, kepolisian, dan polisi syari’ah ini, sebagian masyarakat Aceh yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam termasuk FPI, HUDA, PII, KAMMI, KAPMI dan HMI mendukung langkah untuk menganihilasi komunitas punk tersebut. Kini pelucutan elemen-elemen punk dari generasi muda di Aceh akan semakin gencar dilakukan. Dengan semangat ‘menjaga’ kemurnian syari’at Islam, aparat bekerjasama dengan ormas-ormas Islam di Aceh seolah-olah melancarkan ‘jihad’ melawan punk!
Langkah pemerintah dan kelompok Islam di Banda Aceh ini, bagaimanapun juga, telah menuai kritik dari masyarakat domestik dan internasional. Komunitas punk di Jakarta, Makassar, dan Bandung menggelar aksi solidaritas untuk kawan-kawan punk yang ditangkap di Aceh dengan berunjuk rasa turun ke jalan. Mereka menuntut agar aparat di Aceh bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukan kepada saudara-saudara mereka, dan meminta agar pihak kepolisian serta walikota Banda Aceh segera membebaskan mereka, dan membersihkan nama baiknya. Di Moskow, komunitas Anarcho-punk Rusia menunjukkan aksi solidaritas yang serupa dengan menyampaikan pesan yang tegas kepada pemerintah Indonesia, yaitu dengan mencorat-coret tembok kantor Kedutaan Besar RI dengan tulisan “Religion=Fascism”, “Punk is not a crime!” Komunitas punk di London, Inggris berdemonstrasi membuat petisi yang serupa yaitu agar kawanan punk di Aceh agar segera dibebaskan (‘Free the Aceh Punks!’). Di Amerika Serikat, komunitas punk di San Francisco dan Los Angeles mendatangai kantor Konsulat Jenderal RI dan menyatakan kekhawatiran mereka terhadap nasib punk di Aceh. Aksi solidaritas juga dilakukan melalui jaringan internet dimana berbagai komunitas punk di seluruh dunia, dari Eropa hingga Asia, ‘bertemu’ dan mengadakan sebuah kampanye mendukung kawanan punk di Aceh dengan mengumpulkan berbagai mixtape berupa kaset dan CD musik (punk, hardcore, dan crust) untuk dikirim ke komunitas punk di Aceh. 
Meskipun respon dan kritik dari berbagai belahan dunia bermunculan, tampaknya pihak Walikota dan Kepolisian Banda Aceh tidak begitu peduli. Sebaliknya, mereka malah beranggapan bahwa “pembinaan” punk adalah suatu tindakan yang “benar”, dan tidak melanggar HAM. Ketika Kapolda Banda Aceh Iskandar Hasan ditelepon oleh Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan pelanggaran HAM terhadap kawanan punk tersebut, ia malah mengatakan pada mereka bahwa penggundulan dan pembenaman anak-anak ke air sungai merupakan sebuah “tradisi”. Ormas-ormas Islam seperti yang disebutkan di atas bahkan menganjurkan agar pembinaan 10 hari anak-anak punk di SPN semestinya diperpanjang hingga 3 bulan. Menurut mereka, punk telah keluar dari “norma agama, budaya, dan adat istiadat Aceh.” 
Dari kasus ini setidaknya ada tiga inti masalah yang mengemuka. Pertama, terdapat mispersepsi antara pemerintah, aparat, dan masyarakat Aceh mengenai budaya dan komunitas punk. Punk dalam kasus ini dinilai sangat negatif, bahkan lebih buruknya lagi, dihakimi ‘sesat’ oleh sebagian kelompok Islam, meski punk sama sekali bukan sekte agama. Mispersepsi dan salah pengertian ini kemudian melahirkan persoalan yang kedua, yaitu seolah-olah adanya demarkasi antara punk dengan Islam (“punk versus Islam”). Di sini persoalan menjadi serius, karena penganut punk dan subkultur sejenisnya adalah orang-orang beragama yang kebanyakan Muslim. Masalah ini sangat penting untuk diklarifikasi bersama guna menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Pemerintah, masyarakat, dan ilmuwan, termasuk di dalamnya komunitas punk, mesti berdialog secara aktif dan mengklarifikasi persoalan punk versus agama ini sebelum berakumulasi atau merembet ke persoalan-persoalan lain yang lebih serius. 



5.      Sejara Aceh.
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.

Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi.
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku.
Apabila kita melihat tatanan sosial pada masyarakat Aceh, antara kehidupan Syari’ah dan Percikan Hedonisme maka pada saat itu Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang, termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembangan yang ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Seperti contoh pengendalian sosial di Aceh yaitu provinsi Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) dan sejarahnya. Aceh (sebelumnya dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Aceh) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Komunitas yang tinggal di Aceh secara defacto maupundejure adalah komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya diukur oleh dunia materi  semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif Islam.
Seorang ahli sosiologi Gerhard Lenski (1985), mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang analisis yaitu: Mikrososiologi, Mesososiologi dan Makrososiologi.













Daftar Referensi

·         Sunarto Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004)
·         Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta selatan: Ghalia Indonesia, 2002)
·         Salim Agus, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002)



[1] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta selatan: Ghalia Indonesia, 2002). hlm:21
[2] Salim Agus, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002).hlm: 256

Unsur-unsur Budaya
Pada Masyarakat Aceh


D
I
S
U
S
U
N

OLEH

NAMA                                              NIM
Muhammad Fajri                            421006007
                            
   JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011-2012


KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang dengan quddrah dan iradah-Nya penulis sudah selesai menyusun makalah dengan judul  Unsur-unsur Budaya pada masyarakat Aceh “.
Selawat dan salam penulis sampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, juga sahabatnya yang telah susah payah dalam memperjuangkan Agama Allah di muka bumi ini. Sehingga pada saat ini kita masih merasakan hasil perjuangannya.
Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu Pengasuh Mata Kuliah “ Sosio Antropologi yang telah membimbing penulis dalam upaya menyelesasikan makalah ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kawan-kawan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga makalah ini telah terselesaikan.
            Saya  menyadari bahwa makalah ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu laporan ini masih membutuhkan masukan agar makalah ini menjadi lebih baik dan sempurna. Berkaitan dengan hal tersebut saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing.



Banda Aceh, 05 Juni 2012



Penulis


i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar   ..................................................................................................... i
Daftar Isi  ................................................................................................................. ii

BAB I
Pendahuluan
A.        Latar Belakang............................................................................................... .  1

BAB II
Pembahasan
A.    Pengenalan dan Sejarah Aceh                                                                           3
1.      Pengenalan Wilayah Aceh                                                                          3
B.     Ada 7 Komponen Budaya Aceh                                                                      3
1.      Macam-macam Bahasa Aceh                                                                      3
2.      Karya atau Seni                                                                                           7
3.      Teknologi                                                                                                    9
4.      Mata Pencaharian                                                                                        11
5.      System Agama                                                                                            12
6.      Organisasi Sosial                                                                                         13
7.      Sistem Pengetahuan                                                                                    15

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan....................................................................................................   16
Daftar Referensi......................................................................................................   17


ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
            Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGENALAN DAN SEJARAH ACEH
1.      Pengenalan Wilayah Aceh.
            Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
            Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
            Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.
B. ADA 7 KOMPONEN BUDAYA ACEH.
1.      Macam-Macam Bahasa Aceh.
  • Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
  • Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
  • Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
  • Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
  • Bahasa Aneuk Jamee.
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet).
  • Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini.
  • Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.
  • Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
  • Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.

2.      Karya atau Seni.
Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam perayaan acara tertentu.

Mengutip pendapat "Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi).

Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.
Contoh kesenian :
a.       Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.

b.      Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.

c.       Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.

d.      Seni Tari : Tari Saman
Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.

3.      Teknologi.
Barang – Benda (Material Culture)
Alat-alat music :

a. Serune Kalee / Seruling Aceh
Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.

b. Rapai / rebana
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.

c. Geundrang / gendang.
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

d. Tambo / tambur.
Sejenis gendang yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.

e. Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).



f. Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya nada yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan9
tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.

Rumah Adat : Rumoh Aceh.
Rumah adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe Likot.

Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda.
Seni hias Aceh umumnya mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh menggunakan bentuk tumbuhan.

Pakaian Adat.
Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebutpendua. Kopiah yang dipakainya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut. Wanitanya memakai baju sampai ke pinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.

Senjata.
Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung. Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.

4.      Mata Pencaharian.
Setiap orang untuk yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang.

Mata pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual.
Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.

5.      Sistem Agama
Suku Aceh adalah pemeluk agama islam dan mereka tidak mengenal dewa- dewa. Kepercayaan agama lainnya hanya berkembang di kalangan para pedagang. Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh 10 sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli suku Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas.

Simbol yang digunakan pada suku aceh adalah rencong, karena gagangnya yang melelekuk kemudian menebal pada bagian sikunya merupakan huruf hijaiyah ”BA”, gagang tempat genggaman berbentuk huruf hijaiyah ”SIN”, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan huruf hijaiyah ”MIM”, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan huruf hijaiyah ”LAM”, dan ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan huruf hijaiyah ”HA”. Dengan demikian rangkaian dari huruf tersebut mewujudkan kalimat ”BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa kepahlawanan dalam bentuk senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang yang anti Islam.

Mitos yang terdapat di dalam suku aceh adalah memelihara burung hantu. Karena orang-orang suku aceh meyakini bahwa jika salah satu diantara mereka memelihara burung hantu, berarti orang tersebut sedang menyekutukan Allah SWT. Sebab, suara kukukan burung hantu adalah pertanda untuk memanggil makhluk- makhluk gaib.

Di dalam suku aceh terdapat beberapa ritual agama, yaitu intat bu pada saat ibu sedang hamil, peutron aneuk pada saat bayi sudah lahir, danpeus ijuek. Intat bu adalah ritual yang dilakukan untuk wanita hamil dengan memasak makanan yang disukai oleh wanita tersebut. Peutron Aneuk adalah ritual untuk bayi yang baru lahir dengan memberikan cermin kepada bayinya agar anaknya menjadi ganteng atau cantik, memberikan madu dibibir agar anaknya terlihat manis oleh semua orang. Peusijuk adalah ritual untuk anak yang baru disunat dengan memercikan air dari danau laut tawar dengan campuran bunga 7 rupa menggunakan 7 helai daun pandan, kemudian disebarkan beras yang sudah ditumbuk menjadi tepung ke anak yang baru disunat. Ritual ini bertujuan agar Allah SWT memberikan keberkatan dan rezeki kepada anak tersebut.

Masyarakat suku aceh sangat mempercayai dan meyakini akan ajaran agama Islam. Mereka memegang teguh keyakinan tersebut. Di samping itu, mereka sangat menghormati dan menghargai para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Sehingga ketundukan ulama melebihi ketundukan pada para raja.

6.      Organisasi Sosial.
a. Status.
Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu :
         golongan keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut.
         golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
         golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.
         golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.
Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan. Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan berubah polanya. Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai berikut:
·         Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.
·         Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.
·         Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.

b.      Sistem Keluarga.

Dalam sistem keluarga, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Ø  Pernikahan
Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.

c. Sistem politik dan pemerintahan.

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka- pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti hukum atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.

7.      Sistem Pengetahuan.
Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.






BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
            Aceh adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki ragam budaya, kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya yang beragam tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri. Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004.  Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah, karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun, berkembangnya budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab terlihat aneh di Aceh. Ditambah lagi adanya komunitas punk di Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi. Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat, karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam menjalani aktivitas sehari-hari.






DAFTAR PUSTAKA

·         http://www.tamanmini.com/budaya/BSuku/283228962124/Suku-Bangsa-Aceh
·         Dipetik November 29, 2011, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
·         Dipetik November 7 2011, dari  http://acehpedia.org/Budaya_Aceh.
·         http://carapedia.com/pola_hidup_golongan_masyarakat_aceh_info526.html
·         Saputra, A. (2008). Sejarah Kebudayaan Aceh. Dipetik November 7, 2011, dari
·         http://andriansaputra.multiply.com/journal/item/21/SEJARAH_KEBUDAYAAN_A