Unsur-unsur Budaya
Pada Masyarakat Aceh
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA NIM
Muhammad Fajri 421006007
JURUSAN
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011-2012
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah SWT yang dengan quddrah dan iradah-Nya penulis sudah selesai menyusun
makalah dengan judul “
Unsur-unsur Budaya pada masyarakat Aceh “.
Selawat
dan salam penulis sampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, juga sahabatnya
yang telah susah payah dalam memperjuangkan Agama Allah di muka bumi ini.
Sehingga pada saat ini kita masih merasakan hasil perjuangannya.
Ucapan
terima kasih kepada Bapak/Ibu Pengasuh Mata Kuliah “ Sosio Antropologi “ yang telah membimbing
penulis dalam upaya menyelesasikan makalah ini. Terimakasih juga penulis
ucapkan kepada kawan-kawan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materil kepada penulis sehingga makalah ini telah terselesaikan.
Saya
menyadari bahwa makalah ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu
laporan ini masih membutuhkan masukan agar makalah ini menjadi lebih baik dan
sempurna. Berkaitan dengan hal tersebut saya sangat mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing.
Banda
Aceh, 05 Juni 2012
Penulis
i
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar .....................................................................................................
i
Daftar
Isi .................................................................................................................
ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang............................................................................................... . 1
BAB
II
Pembahasan
A.
Pengenalan dan
Sejarah Aceh
3
1.
Pengenalan
Wilayah Aceh 3
B.
Ada 7 Komponen
Budaya Aceh 3
1.
Macam-macam
Bahasa Aceh 3
2.
Karya atau Seni 7
3.
Teknologi 9
4.
Mata Pencaharian
11
5.
System Agama 12
6.
Organisasi
Sosial 13
7.
Sistem
Pengetahuan 15
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................... 16
Daftar Referensi...................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Aceh yang sebelumnya pernah
disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001)
dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat
di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan
kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra
Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan
Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh
ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang
kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan
perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti
Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya,
Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak
dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena
merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa
budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu,
Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan
keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah
orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem
kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat
Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan
masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari
sistem kekerabatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGENALAN
DAN SEJARAH ACEH
1.
Pengenalan
Wilayah Aceh.
Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur
tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan
sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu
kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya,
Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan
kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat
adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh
mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam.
Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga
terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit
Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh
Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional,
yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh
Tenggara.
B. ADA 7 KOMPONEN BUDAYA ACEH.
1.
Macam-Macam
Bahasa Aceh.
- Bahasa Aceh
Diantara
bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan
bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 %
dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah
pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka
yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten
Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat
dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam
kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng,
Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh
Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil
masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di
daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang
tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita
jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur
di Malaysia serta Sydney di Australia.
- Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu
bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup
banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa
Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh
Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten
Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini
mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
- Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip
dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara.
Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki
gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten
Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten
Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di
lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel,
Babussalam, dan Bandar.
- Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh
disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang
digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh
Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh)
dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa
Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat
kental dalam bahasa Tamiang.
- Bahasa Aneuk Jamee.
Bahasa ini sering juga disebut
(terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di
Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi
penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten
Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie
dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak
dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan,
dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini
juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan
Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang,
Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan
(khususnya di desa Padang Seurahet).
- Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu
bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di
kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian
yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas,
terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang
seluk-beluk bahasa ini.
- Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet,
informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan,
masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat
di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain
masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk
Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa
Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan
pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.
- Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan
oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan
Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip
dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah
penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan,
pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat
nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti
bahasa daerah.
- Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu
bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue
dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi
Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini
telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar
pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu
bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai
tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga
bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para
peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan
bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan
tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di
wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah
Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah
kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
2.
Karya atau Seni.
Salah satu tradisi turun temurun
yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni
yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk
memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat
Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok
yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis
kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh,
biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni
yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu.
Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam
perayaan acara tertentu.
Mengutip pendapat "Ismuha dalam
buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum
terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari
tradisional Aceh antara lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang,
pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang
relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang
terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa
upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi).
Kesenian Aceh dibalut dengan
nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni
tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni
tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh
dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos
legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman,
meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara
seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom
bines dan ale tunjang.
Contoh kesenian :
a. Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah
satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis
di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid
dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat
pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan
sebagainya.
b. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan
Nisan
Seni pahat yang ada pada suku aceh
adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan
pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan
seni pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang
dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat
dari tokoh yang dikuburkan.
c. Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik
yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar,
seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing
memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang
dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah
cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan.
Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang
bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.
d. Seni Tari : Tari Saman
Tarian ini merupakan salah satu
media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan,
sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi
duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair
penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
3.
Teknologi.
Barang – Benda (Material Culture)
Barang – Benda (Material Culture)
Alat-alat music
:
a. Serune Kalee / Seruling Aceh
Serune Kalee merupakan instrumen
tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh.
Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada
acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune
Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu.
Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik
tradisional Aceh.
b. Rapai / rebana
Rapai terbuat dari bahan dasar
berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar
hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi
pengiring kesenian tradisional.
c. Geundrang / gendang.
Geundrang merupakan unit instrumen
dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul
dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi
Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
d. Tambo / tambur.
Sejenis gendang yang termasuk alat
pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat
peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk
menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke
Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan
(hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
e. Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat
pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi untuk mengusir burung ataupun
serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan
ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat
menunggu padi di sawah).
f. Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup
terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya
nada yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi
dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan9
tempat antara seorang dengan orang
lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan
telah mulai punah penggunaannya.
Rumah
Adat : Rumoh Aceh.
Rumah adat Aceh terbuat dari kayu
meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah
Inong dan Seuramoe Likot.
Seni
/ Ragam Hias : Pilin Berganda.
Seni hias Aceh umumnya mamakai
bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam
Pilin berganda terdiri dari susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir
dan seni tenun Aceh menggunakan bentuk tumbuhan.
Pakaian
Adat.
Pakaian adat yang dikenakan pria
Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak
musang dan kain sarung yang disebutpendua. Kopiah yang dipakainya disebut
makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut. Wanitanya memakai baju
sampai ke pinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai ke
lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang
tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara
pernikahan.
Senjata.
Rencong adalah senjata tradisional
yang dipakai oleh hampir setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari
besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh
juga menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung.
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
4.
Mata
Pencaharian.
Setiap orang untuk yang hidup
memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku aceh, untuk
mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan
beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya
menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang.
Mata pencaharian pokok suku aceh
adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh,
lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga
ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk
dipekerjakan di sawah atau di jual.
Untuk masyarakat yang hidup di
sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang
kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi
masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap
(baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke
kampung.
5.
Sistem
Agama
Suku Aceh adalah pemeluk agama islam
dan mereka tidak mengenal dewa- dewa. Kepercayaan agama lainnya hanya
berkembang di kalangan para pedagang. Aceh termasuk salah satu daerah yang
paling awal menerima agama Islam. Oleh 10 sebab itu propinsi ini dikenal dengan
sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang
paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun
demikian kebudayaan asli suku Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya
beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan
kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut
melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas.
Simbol yang digunakan pada suku aceh
adalah rencong, karena gagangnya yang melelekuk kemudian menebal pada bagian
sikunya merupakan huruf hijaiyah ”BA”, gagang tempat genggaman berbentuk huruf
hijaiyah ”SIN”, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat
gagangnya merupakan huruf hijaiyah ”MIM”, lajur besi dari pangkal gagang hingga
dekat ujungnya merupakan huruf hijaiyah ”LAM”, dan ujung yang runcing sebelah
atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan huruf
hijaiyah ”HA”. Dengan demikian rangkaian dari huruf tersebut mewujudkan kalimat
”BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa kepahlawanan dalam bentuk senjata perang
untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang yang anti Islam.
Mitos yang terdapat di dalam suku
aceh adalah memelihara burung hantu. Karena orang-orang suku aceh meyakini
bahwa jika salah satu diantara mereka memelihara burung hantu, berarti orang
tersebut sedang menyekutukan Allah SWT. Sebab, suara kukukan burung hantu
adalah pertanda untuk memanggil makhluk- makhluk gaib.
Di dalam suku aceh terdapat beberapa
ritual agama, yaitu intat bu pada saat ibu sedang hamil, peutron aneuk pada
saat bayi sudah lahir, danpeus ijuek. Intat bu adalah ritual yang dilakukan
untuk wanita hamil dengan memasak makanan yang disukai oleh wanita tersebut.
Peutron Aneuk adalah ritual untuk bayi yang baru lahir dengan memberikan cermin
kepada bayinya agar anaknya menjadi ganteng atau cantik, memberikan madu
dibibir agar anaknya terlihat manis oleh semua orang. Peusijuk adalah ritual
untuk anak yang baru disunat dengan memercikan air dari danau laut tawar dengan
campuran bunga 7 rupa menggunakan 7 helai daun pandan, kemudian disebarkan
beras yang sudah ditumbuk menjadi tepung ke anak yang baru disunat. Ritual ini
bertujuan agar Allah SWT memberikan keberkatan dan rezeki kepada anak tersebut.
Masyarakat suku aceh sangat
mempercayai dan meyakini akan ajaran agama Islam. Mereka memegang teguh
keyakinan tersebut. Di samping itu, mereka sangat menghormati dan menghargai
para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Sehingga ketundukan ulama melebihi
ketundukan pada para raja.
6.
Organisasi
Sosial.
a. Status.
Pada masa lalu masyarakat suku Aceh
mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat,
yaitu :
•
golongan
keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan
yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut.
•
golongan
ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar
Teuku.
•
golongan
ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.
•
golongan
rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.
Sistem organisasi sosial suku Aceh
tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan.
Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di
dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan
sosial mulai bergeser dan berubah polanya. Secara umum pelapisan sosial suku
Aceh sekarang sebagai berikut:
·
Golongan
penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.
·
Golongan
hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.
·
Golongan
rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.
b. Sistem
Keluarga.
Dalam sistem keluarga, bentuk
kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan
bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak
merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Ø Pernikahan
Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat
kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan
berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah
uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal
pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu.
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh
tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi
kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh
anak dan mengatur rumah tangga.
c. Sistem
politik dan pemerintahan.
Bentuk kesatuan hidup setempat yang
terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam
setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah.
Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam
mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka-
pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti hukum
atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite
religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut
keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya
sesuai dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu
atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat
disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.
7.
Sistem
Pengetahuan.
Suku Aceh memiliki sistem
pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala
alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan
orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku
aceh, yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu
yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab
ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu
pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi.
Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah
datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca
huruf Jawi.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Aceh
adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat,
yang memiliki ragam budaya, kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain
sebagainya. Budaya yang beragam tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu,
ditambah budaya campuran, yang diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah
dilewati di wilayah Aceh sendiri. Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami
terjadi pada 26 Desember 2004. Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh
dikenal dengan kota serambi mekah, karena selain mayoritas penduduknya memeluk
agama islam, peraturan islam pun cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi,
semakin bertambahnya tahun, berkembangnya budaya, sempat terlihat adanya
perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum wanita di Aceh. Pasca-tsunami,
wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan tidak aneh. Berbanding terbalik
ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab terlihat aneh di Aceh. Ditambah
lagi adanya komunitas punk di Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya
hidup, dan bersosialisasi. Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota
Aceh dan warga setempat, karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan.
Itu semua bertentangan dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan
yang cukup tinggi dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://www.tamanmini.com/budaya/BSuku/283228962124/Suku-Bangsa-Aceh
·
Dipetik
November 29, 2011, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
·
Dipetik
November 7 2011, dari http://acehpedia.org/Budaya_Aceh.
·
http://carapedia.com/pola_hidup_golongan_masyarakat_aceh_info526.html
·
Saputra,
A. (2008). Sejarah Kebudayaan Aceh. Dipetik November 7, 2011,
dari
·
http://andriansaputra.multiply.com/journal/item/21/SEJARAH_KEBUDAYAAN_A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar